Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum tokoh Front Pembela Islam (FPI)
Rizieq Shihab, Kapitra Ampera, menjelaskan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (
SP3) kasus dugaan percakapan porno kliennya sudah diurus sejak tahun lalu.
"SP3 itu di urus satu 1 Syawal (25 Juni) 2017," kata
Kapitra dalam keterangannya yang diterima
CNNIndonesia.com, Jakarta, Minggu (17/6).
Kapitra menyebut penyidikan kasus bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena barang bukti didapat penyidik melalui penyadapan pihak ilegal atau tidak berwenang.
Sebelumnya diketahui barang bukti diambil dari situs baladacintarizieq.com dan www.4n5hot.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kesimpulan bahwa, alat bukti dalam kasus Habib Rizieq Shihab didapat (intersepsi/penyadapan) secara Ilegal yang dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam proses penyidikan maupun persidangan, karena merupakan pelanggaran terhadap HAM, Rights of Privacy dan bertentangan dengan UUD 1945," katanya.
Untuk itu, melalui legal opininya kepada Presiden Joko Widodo, dia memohon agar Jokowi memerintahkan penyidik atau Polri agar menerbitkan SP3 kepada Habib Rizieq Shihab karena melanggar peraturan perundang-undangan khususnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016.
"Ini waktu legal opinion saya ke presiden 27 ramadan 2017," katanya. "SP3 tidak ada hubungan dengan politik seperti yang dituduhkan," kata Kapitra.
Tahun lalu, 25 Juni atau bertepatan hari raya lebaran pertama, Ketua GNPF-MUI Bahctiar Nasir bertemu dengan Presiden Joko Widodo saat open house lebaran di Istana Negara. Keduanya sepakat untuk membuka komunikasi.
Menurut Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam pertemuan itu, Bachtiar menyatakan dukungannya pada kebijakan pemerintah.
Kapitra menyatakan sejumlah aturan perundang-undangan yang dilanggar adalah Pasal 28F UUD 1945, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011, Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 dan Pasal 17 Kovenan International Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana diratifikasi dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2015.
Selain itu dia mengatakan kewenangan intersepsi atau penyadapan secara tegas oleh undang-undang diberikan kepada instansi sesuai Pasal 31 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 5 ayat (2), UU ITE, Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 75 huruf i Undang-undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, Pasal 31 ayat (1) huruf b, Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang, dan Pasal 31 Undang-undang No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.
(vws)