Mengukur Potensi Pelanggaran Rombak Pejabat DKI oleh Gubernur

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Rabu, 18 Jul 2018 10:24 WIB
Pengamat kebijakan publik Yogi Suprayogi mengatakan upaya perombakan yang dilakukan Anies maupun Ahok saat masih menjabat sejatinya tak berbeda jauh.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melantik lima wali kota dan bupati Kepulauan Seribu di Balai Agung, Balai Kota Jakarta. (Humas Pemprov DKI Jakarta)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelantikan empat wali kota dan sejumlah kepala dinas di lingkungan pemprov DKI Jakarta oleh Gubernur DKI Anies Baswedan 5 Juli lalu menuai masalah. Pelantikan itu dinilai Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak sah lantaran diduga tak melalui prosedur penggantian yang tepat.

Salah satu pejabat yang diganti, mantan wali kota Jakarta Pusat Mangara Pardede mengungkapkan informasi pencopotan dirinya dilakukan melalui telepon langsung oleh Anies satu hari sebelum pelantikan.

Ia lantas meminta agar masa pensiunnya dipercepat. Namun Anies memintanya bersabar karena Mangara disebut-sebut akan menempati jabatan lain sebelum benar-benar pensiun tahun depan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi serupa juga dialami mantan Wali Kota Jakarta Timur Bambang Musyawardhana yang menerima informasi pencopotan melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp.

Bambang menyebut nasibnya menjadi luntang lantung tanpa arahan yang jelas pasca pencopotan tersebut. Ia kini hanya menunggu masa pensiun yang jatuh pada 1 Oktober mendatang.

Ketua KASN Sofian Effendi mengaku telah menerima aduan dari pejabat yang diganti terkait pelantikan oleh Anies. Pihaknya menyebut terdapat potensi pelanggaran atas dua peraturan dari cara Anies mencopot jajarannya.

Pertama, dalam UU 5/2014 tentang ASN, pejabat yang kinerjanya tidak terpenuhi dalam waktu satu tahun diberi kesempatan menjalani uji kompetensi dan tak bisa serta merta dicopot.

Kedua, dalam Peraturan Pemerintah (PP) 53/2010 tentang PNS menjelaskan bahwa pimpinan wajib memanggil terlebih dulu pegawai yang dinilai tidak disiplin, bukan langsung mencopotnya.

Saat ini pihak KASN masih menyelidiki proses penggantian tersebut dengan memanggil 16 pejabat terkait untuk diminta keterangan.

Jika menilik ke belakang, rombak jabatan sebenarnya pernah dilakukan di masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Perombakan tersebut biasanya dilakukan untuk jabatan lurah, camat, kepala dinas, termasuk wali kota.

Saat itu, Ahok beberapa kali melakukan pencopotan lantaran merasa tak puas dengan kinerja jajarannya. Mantan Bupati Belitung Timur itu memang dikenal tak segan 'menyingkirkan' siapa saja yang dianggap menghambat jalannya untuk membereskan permasalahan ibu kota.

Pengamat kebijakan publik Universitas Padjajaran Yogi Suprayogi mengatakan upaya perombakan yang dilakukan Anies maupun Ahok saat masih menjabat sejatinya tak berbeda jauh.

Menurut Yogi, ada potensi pelanggaran yang dilakukan keduanya terhadap ketentuan yang tertuang dalam UU ASN.

"Perbedaannya mungkin dari sisi legalitas. Kalau zaman Ahok dulu SK-nya (Surat Keputusan) untuk penggantian sudah ada. Tapi kalau yang sekarang, kan, belum jelas, apakah sudah menerima SK atau belum," kata Yogi kepada CNNIndonesia.com.

Terlepas dari masalah tersebut, menurut Yogi, penggantian jabatan merupakan hak prerogatif gubernur sebagai kepala daerah. Apalagi Jakarta memiliki kekhususan bahwa jabatan wali kota menjadi kewenangan kepala daerah dan tak perlu seleksi terbuka.

Soal sosok yang menggantikan pun, kata Yogi, menjadi kewenangan Anies. Umumnya wali kota di Jakarta dijabat oleh seseorang yang sudah senior dan berpengalaman di bidang birokrasi.

"Saya juga enggak tahu menggunakan dasar apa Pak Anies memilih. Apakah dasarnya UU ASN atau subjektivitas dukung mendukung. Tapi kalau dari sisi birokrasi sebenarnya enggak masalah karena memang tidak ada seleksi terbuka," tuturnya.

Menurut Yogi, kecil kemungkinan proses penggantian pejabat itu melanggar aturan. Jika memang ada pelanggaran, kata dia, hal itu tak lebih karena ketiadaan SK yang diterima para wali kota.

"Kalau pelanggaran ya potensi ada, paling mungkin karena SK belum muncul. Tapi kalau SK sudah ada dan wali kota hanya belum menerima ya itu bukan pelanggaran. Harus dicek ke BKD (Badan Kepegawaian Daerah)," ucap Yogi.

(ugo/wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER