Jakarta, CNN Indonesia -- Pasangan calon Wempi Wetipo-Habel Suwae melalui kuasa hukumnya, yakni Saleh menuding pihak kepolisian turut tidak bersikap netral bahkan sampai melakukan tindakan kekerasan saat pemilihan gubernur
Papua dilaksanakan. Saleh mengatakan itu terjadi di Kabupaten
Tolikara.
Saleh mengutarakan hal tersebut saat sidang pendahuluan sengketa pilkada nomor perkara 48/PHP.GUB-XVI/2018 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (26/7).
"Bahwa telah terjadi penganiayaan yang menyebabkan luka berdasarah oleh satuan Brimob di bawah pimpinan Ipda Suryadin," tutur Saleh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saleh tidak merinci kapan kejadian terjadi serta berapa jumlah anggota Brimob yang terlibat. Dia pun tidak menjabarkan berapa orang yang menjadi kekerasan hingga mengalami luka.
Saleh hanya mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan Brimob pimpinan Ipda Suryadin terjadi di depan kantor KPU Tolikara. Satuan Brimob tersebut, lanjutnya, jelas menunjukkan sikap tidak netral lantaran cenderung berpihak kepada tim pasangan calon petahana Lukas Enembe-Klemen Tinal dengan nomor urut 1.
"Aparat keamanan tersebut hanya mendengarkan aspirasi tim pasangan calon nomor 1, sedangkan aspirasi tim pemohon tidak didengar," kata Saleh.
Selain itu, Saleh mengatakan saksi dan tim paslon Wempi-Habel juga di Kabupatane Dogiyai mendapat ancaman pembunuhan. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Lanny Jaya.
"Selanjutnya, fakta sebelum penyelenggaraan pilkada di tanah Papua, terdapat Kantor KPU dan Panwas Mamberamo Tenga
dibakar oleh massa," kata Saleh.
Dugaan kecurangan lain, kata Saleh, juga mencakup soal mekanisme pemungutan suara dengan sistem noken. Diketahui, sistem noken khusus diterapkan di beberapa wilayah di Papua. Sistem noken merupakan pemungutan suara secara kolektif oleh masyarakat yang telah menentukan siapa yang akan dipilih.
Namun, Saleh mengklaim KPU setempat tidak membiarkan tim Wempi-Habel ikut memantau penghitungan di tingkat kabupaten. Walhasil, Saleh mengatakan ada banyak berita acara penghitungan suara yang tidak dibuat secara resmi oleh KPU. Dia menduga ada praktik manipulasi suara. Saleh mengatakan kejadian semacam itu terjadi di banyak wilayah.
"Karena adanya intervensi dan intimidasi dari Termohon (Lukas Enembe-Klemen Tinal)," tutur Saleh.
Saleh menganggap sejumlah dugaan kecurangan tersebut membuat pasangan Wempi-Habel tidak memperoleh banyak suara. Bahkan selisihnya pun sangat besar. Diketahui, paslon Lukas Enembe-Klemen Tinal memperoleh 68% suara, unggul atas Wempi-Habel yang hanya memperoleh 32%.
"Selisih suara yang signifikan tersebut ternyata terjadi disebabkan karena adanya rangkaian jumlah kecurangan, kekerasan, dan sejumlah kejahatan demokrasi yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif," kata Saleh.
"Dilakukan oleh Pasangan Calon Lukas Enembe-Klemen Tinal selaku petahana atau incumbent beserta tim suksesnya dengan menggunakan kekuatan oknum-oknum ASN, oknum kepala daerah, dan oknum aparat keamanan," ucap Saleh.
Saleh lalu memohon kepada MK agar KPU melaksanakan pemungutan suara ulang di 13 kabupaten yang menggunakan sistem noken. Saleh berharap MK benar-benar melihat kondisi pelaksanan pilkada di Papua secara adil.
"Atau, jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya," ucap Saleh.
(dal/dal)