Putusan MK Dinilai Masih Buka Peluang Parpol Duduki DPD

FHR | CNN Indonesia
Jumat, 03 Agu 2018 01:03 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi terkait Jabatan Dewan Perwakilan Daerah tidak diisi oleh pengurus partai politik.
Terbukanya peluang bagi anggota partai menduduki jabatan di DPD berpotensi menggerus perwakilan daerah secara perseorangan atau nonpartai politik. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Jabatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak diisi oleh pengurus partai politik. Menurutnya putusan itu masih membuka peluang bagi anggota partai menempati jabatan DPD.

Refly menyoroti hal ini berdasarkan komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedianya di MPR terdiri dari dua unsur, yakni unsur legislatif yang merupakan anggota partai politik di parlemen dan unsur senat yang merupakan anggota DPD sebagai perwakilan daerah nonpartai politik.

Masih terbukanya peluang bagi anggota partai menduduki jabatan di DPD berpotensi menggerus perwakilan daerah secara perseorangan atau nonpartai politik. Dengan demikian, MPR akan didominasi orang-orang yang berasal dari partai politik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Saya sendiri ingin mengkritik putusan (mengenai jabatan) DPD. Kenapa putusan MK masih memberi ruang pada anggota partai politik. Kan (dalam putusan) hanya fungsionaris dan pengurus yang dilarang," kata Refly di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/8).

"Padahal kalau kita bicara double representation di MPR, (semestinya) kan dia enggk dihitung apakah pengurus atau fungsionaris, kan anggota juga harus dihitung (bagian dari parpol)," kata Refly.

Meski demikian Refly menilai putusan MK terkait jabatan DPD tidak diisi oleh pengurus partai politik sudah tepat.

"Memang saya menganggap putusan (perkara terkait) DPD itu benar karena memang double representation," ujar Refly.


Sebelumnya MK dalam putusan nomor perkara 30/PUU-XVI/2018 menyatakan bahwa DPD tidak boleh diisi pengurus parpol. Dengan demikian, seseorang yang mendaftarkan diri menjadi calon anggota DPD untuk pemilu 2019 harus mengundurkan diri dari kepengurusan parpol. Jika tidak, jabatannya di DPD inkonstitusional.

Putusan MK ini mendapat reaksi keras dari partai Hanura. Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Benny Rhamdani menuding putusan MK bernuansa politis karena beberapa alasan.

Salah satunya, menurut dia, putusan tersebut dikeluarkan sehari jelang penutupan pendaftaran calon anggota DPD ke KPU. Pihaknya berencana melaporkan Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Dewan Etik MK.

Putusan MK Dinilai Masih Buka Peluang Parpol Duduki DPDKetua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO). (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Selain itu, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) juga bereaksi keras atas putusan MK. Bahkan, OSO melontarkan ucapan kasar kepada MK.

"MK itu goblok! Kenapa? Karena dia tidak menghargai kebijakan yang telah diputuskan oleh siapa, oleh KPU. Kan itu porsinya KPU, bukan porsinya MK," kata Oso dalam wawancara di salah satu statiun televisi.

Menanggapi pernyataan OSO, MK melayangkan Somasi pada Selasa (31/7) siang. MK menilai pernyataan OSO telah merendahkan harkat, martabat dan kehormatan MK serta para hakim di dalamnya.

OSO pun membalas somasi itu pada sore hari melalui surat yang diantar oleh salah satu staf khususnya.


Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan bahwa dalam surat itu OSO berdalih tidak berniat merendahkan MK. Di dalam surat itu juga OSO mempersoalkan putusan MK tersebut.

"Jadi ada kontradiksi interminus; di satu sisi Pak OSO menulis tidak bermaksud merendahkan MK, dan satu sisi [mengatakan] prihatin putusan MK tidak memberikan keadilan dan melanggar hak konstitusional, terutama dari DPD," kata Fajar di gedung MK, Jakarta Pusat Rabu (1/8).

Dalam kesempatan lain, OSO mengaku siap meminta maaf kepada MK atas ucapan kasar yang dilontarkan. Namun, ia tetap menyinggung soal pelecehan undang-undang dalam putusan uji materi keanggotaan DPD.

"Saya sih mau aja minta maaf. Cuma minta maaf apa susahnya. Tapi mana yang lebih berat? Goblok atau pelecahan Undang-Undang," cetus OSO, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/8).

(pmg)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER