Santri Post-Islamisme Sandi, 'Citra' Lawan Jokowi di 2019

Ihsan Dalimunthe | CNN Indonesia
Sabtu, 11 Agu 2018 07:54 WIB
Gelar santri post-Islamisme untuk cawapres Sandiaga Uno yang diberikan PKS dinilai akan menhilangkan kesan Islam garis keras bagi koalisi Prabowo Subianto.
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno resmi maju sebagai capres cawapres di pilpres 2019. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman menyatakan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno di pemilihan presiden (pilpres) 2019 sebagai perwujudan nasionalis-Islam.

Meski secara langsung tak ada latar belakang santri, namun Sandi dimata Sohibul adalah sosok yang hidup di alam modern dan sudah mengalami proses spiritiualisasi dan Islamisasi. Atas fakta itu, Sohibul pun menyematkan gelar santri di era post-Islamisme pada bekas Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.

"Dia benar-benar menjadi contoh pemimpin muslim yang kompatibel dengan perkembangan zaman," tutur Sohibul di acara deklarasi Prabowo-Sandi, Kertanegara, Jakarta, Kamis (9/10) malam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengamat politik Islam asal Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Zaki Mubarak mengatakan penyematan post-Islamisme merupakan cara oposisi untuk membangun citra positif pada Sandi. Salah satu tujuannya, kata Zaki, untuk meraih dukungan dari kelas menengah muslim.


Zaki menjelaskan post-Islamisme merupakan fenomena politik dari kelompok orang Islam yang memiliki visi pro demokrasi, bersikap tidak lagi ekslusif tapi inklusif, lebih moderat dan toleran.

Ciri utama gerakan post-Islamisme adalah kecenderungan mereka yang pragmatis, realistis, bersedia untuk kompromi dengan realitas politik yang tak sepenuhnya ideal dan sesuai dengan skema ideologis murni yang mereka yakini dan bayangkan.

Istilah itu dipopulerkan oleh Aset Bayar, ahli politik Islam asal Iran. Fenomena post-Islamisme ditunjukkan di timur tengah pasca peristiwa Arab Spring. Kelompok-kelompok muslim yang dulunya menjauhi demokrasi bahkan antidemokrasi, telah bertransmigrasi menjadi partai-partai politik Islam yang mendukung demokrasi.

Kelompok muslim tersebut tidak lagi terjebak dalam cita-cita negara Islam, tetapi bekerja untuk negara yang demokratis dan liberal tanpa meninggalkan norma dan etik Islam. Perkembangan itu dinilai sangat positif.

"Islam ternyata compatible atau cocok dengan demokrasi. Segi itu yg hendak dilekatkan ke Sandi, sehingga terbangun citra bahwa dia adalah muslim modern, terbuka, demokrat. Tentu ini sah dan positif," kata Zaki kepada CNNIndonesia.com, Jumat (10/8).

PKS sebut Sandiaga Uno sebagai santri era post-Islamisme. (CNN Indonesia/Safir Makki)


Hilangkan citra Islam garis keras

Menempelkan post-Islamisme ke Sandi, diyakini Zaki, juga dimaksudkan untuk meyakinkan publik bahwa Sandi dan kubu Prabowo bukanlah bagian dari kelompok Islam garis keras, eksklusif dan intoleran.

Zaki menjelaskan tak bisa dipungkiri jika kelompok Islam garis keras masih kerap dikaitkan dengan kemenangan Sandi dan Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta tahun lalu.

"Kubu Prabowo-Sandi ingin meyakinkan kalau mereka bukan bagian kelompok atau pemilih Islam garis keras, bahkan ada yang menuduh radikal," kata Zaki.


Dengan begitu, Zaki menilai Prabowo-Sandi bisa memperluas pasar pemilihnya ke kalangan muslim moderat. Disamping juga berusaha untuk bisa lepas dari kesan yang suka memobilisasi kelompok-kelompok muslim konservatif dalam sejumlah aksi demonstrasi.

"Prabowo-Sandi ingin menjangkau kelompok-kelompok muslim yang lebih modern, terbuka dan toleran. Mereka mau menunjukkan bukan bagian dari Islam intoleran," ungkap Zaki.

Di sisi lain, Presiden Jokowi sendiri akhirnya menggandeng KH Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden pada 2019. Ma'ruf sendiri merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)--lembaga yang dibela oleh pelbagai kelompok yang sebelumnya tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.

GNPF MUI sendiri beberapa kali melakukan aksi unjuk rasa dengan melibatkan pelbagai petinggi partai macam Fadli Zon dari Gerindra dan Fahri Hamzah, PKS.

Post-Islamisme harus konkret

Di sisi lain, citra post-Islamisme yang dibangun untuk koalisi Prabowo-Sandi ini juga bisa mengunci koalisi Joko Widodo yang pada akhirnya memilih Ma'ruf Amin, yang merupakan ulama, sebagai cawapres di pilpres 2019.

Jika pada akhirnya koalisi Jokowi justru memainkan politik identitas dengan mendekati kelompok islam konservatif melalui nama besar Ma'ruf Amin, maka pemilih nasionalis ataupun non muslim yang awalnya mendukung Jokowi akan mengalihkan suaranya di pemungutan suara nanti.


Untuk itu, Zaki berharap munculnya istilah post-Islamisme pada pilpres 2019 ini akan menghilangkan politik pecah belah dan politisasi agama. Zaki pun yakin jika pendukung Jokowi dan Prabowo akan menyampaikan kritik keras jika politik identitas kembali digunakan.

Zaki pun mengharapkan jika 'tempelan' post-Islamise yang digaungkan Sohibul harus segera ditindaklanjuti dengan aksi-aksi yang lebih konkret. Zaki mengatakan perlu membangun komunikasi yang lebih intens dan membentuk jaringan-jaringan yang melibatkan pegiat-pegiat Islam pro demokrasi, toleransi dan pluralisme.

"Yang saya khawatirkan, Sandi sendiri enggak begitu paham dengan maksud sebenarnya post-Islamisme itu sendiri sehingga motifnya asal keren-kerenan saja. Jadi post-Islamisme harus konkret," pungkas Zaki.

(dal/asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER