Cerita Ninik Mengais Puing Kenangan di Dasar Waduk Jatigede

Tiara Sutari | CNN Indonesia
Selasa, 04 Sep 2018 11:47 WIB
Desa boleh tenggelam oleh Jatigede, namun kenangan warga Sumedang tak akan lekang. Kini saat waduk mengering, puing desa mereka menguatkan kenangan itu lagi.
Ninik (16) siswa kelas X MA, saat berkunjung ke bekas desa masa kecilnya, Cipaku, Sumedang, yang kini sudah jadi puing, Jumat (31/8). (CNN Indonesia/Safir Makki)
Sumedang, CNN Indonesia -- "Dasa Dharma Pramuka, Pramuka itu, satu, taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; dua, cinta alam dan kasih sayang sesama manusia..."

Penggalan Dasa Darma Pramuka atau 10 janji Pramuka itu terdengar riuh di telinga saat diucapkan oleh 30 anak berseragam cokelat, di tengah padang kosong gersang, di bekas Desa Cipaku, Sumedang, Jawa Barat, Jumat (31/8) siang.

Siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) ini tengah mengisi waktu ektrakulikuler pramuka di alam bebas, di tengah waduk yang susut di musim kemarau yang merupakan desa yang ditinggal pemiliknya sejak tiga tahun lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi Ninik (16), Siswa kelas X sebuah MA di Sumedang, deretan Dasa Dharma Pramuka itu punya arti pilu, terutama poin kedua. Sebab, itu diucapkan di tengah bekas desa tempat tinggal masa kecilnya yang sudah hancur dan ditenggelamkan ari Waduk Jatigede.

"Senang, tapi sedih. Ini kampung Ninik lho dulu," kata dia kepada CNNIndonesia.com, saat ditemui di bekas Desa Cipaku itu.

"Hari ini Ninik sedih, harus lihat rumah tinggal, tembok, tempat bermain Ninik juga hilang, ya sedih. Mau bagaimana juga Ninik tetap bingung kenapa dulu kita harus pindah," imbuh Ninik.

Pelajar memanfaatkan Waduk Jatigede yang mengering sebagai tempat aktifitas ekstrakurikuler Pramuka, Jumat (31/8).Pelajar memanfaatkan Waduk Jatigede yang mengering sebagai tempat aktifitas ekstrakurikuler Pramuka, Jumat (31/8). (CNN Indonesia/Safir Makki)
Matanya tampak berkaca-kaca, menerawang, menatap puing bangunan, pohon-pohon yang meranggas, tanah yang retak namun masih basah, di tengah Waduk Jatigede yang mengering.

Ini adalah pertama kali bagi Ninik menginjakan kaki di tanah kelahirannya, Desa Cipaku, Kabupaten Sumedang. Keluarganya memutuskan untuk pindah pada 2015 lalu karena desanya masuk wilayah yang akan ditenggelamkan untuk dijadikan waduk.

Gadis 16 tahun itu mengakui rasa rindu dan duka bercampur saat harus kembali menginjakan kaki di Desa Cipaku yang kini lebih mirip kota mati itu.

Lihat Juga: FOTO: 'Kota Mati' di Dasar Waduk Jatigede

Masih jelas dalam ingatannya tentang gambaran lingkungan Desa dan rumah tempat dia tinggal dulu; pasar, sawah, jalan raya, rumah, sekolah, selokan kecil tempat dirinya bersama kawan-kawannya bermain perosotan air.

"Dulu Ninik Sekolah di SD Cipaku. Di sana itu, masih ada kok bekasnya. Kalau rumah Ninik ada di sebelah sana, enggak jauh dari sini," kata Ninik, sembari menunjuk berbagai arah.

"Dulu Ninik biasa main di pasar ngambil sayuran bekas buat main masak-masakan, atau main perosotan air di selokan dekat rumah sama teman-teman. Tapi sekarang sudah tidak ada, tempat bermain sama teman-teman Ninik sama-sama tidak ada," ucapnya.

Bekas SDN Cipaku terlihat saat Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, mengering saat kemarau, Jumat (31/8).Bekas SDN Cipaku terlihat ketika Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, mengering, Jumat (31/8). (CNN Indonesia/Safir Makki)
Yang bersisa dari Desa Cipaku hanya puing-puing bangunan yang kembali muncul saat air waduk menyusut.

Proyek Waduk Pisahkan Ninik dan Keluarga

Ninik menuturkan Desa Cipaku sebelum diairi oleh pemerintah merupakan desa yang cukup damai dan asri. Jaraknya dari pusat Kota Sumedang adalah kurang lebih dua jam. Namun, warga Desa Cipaku yang kebanyakan hidup dari pertanian dan berniaga tergolong maju. Jalanan telah diaspal.

"Ayah Ninik petani, kalau Ibu dagang di rumah. Itu dulu waktu masih di Cipaku. Sekarang bahkan Ninik ketemu mereka [ayah dan ibu] setahun sekali tiap lebaran aja," aku dia.

Orang tua Ninik diakuinya harus mengadu nasib di kota besar usai relokasi pada 2015. ayah Ninik bekerja sebagai buruh kasar di Jakarta, sementara ibunya bekerja di salon rambut di Surabaya.

Mereka menyadari uang ganti rugi Rp125 juta dari pemerintah tak bisa mencukupi hidup satu keluarga. Terlebih, sawah yang jadi tumpuan hidup ikut terendam.

Ninik sendiri kini tinggal dengan Neneknya di Dusun Ancol, Sumedang, yang jaraknya tak terlalu jauh dari Waduk Jatigede.

Puing-puing bangunan dan tanah yang merekah saat waduk Jatigede mengering.Puing-puing bangunan, pohon meranggas, dan tanah yang merekah saat waduk Jatigede mengering. (CNN Indonesia/Safir Makki)
"Karena kan Ninik juga sekolah butuh uang jadi mencar-mencar sekarang. Makanya Ninik tinggal sama nenek, ibu sama bapak itu pulang kalau lebaran aja," kata dia.

Ia pun kini mengaku tak tahu kemana kawan-kawan bermain perosotannya pergi. Yang tersisa hanya puing-puing kenangan masa kecil di dasar waduk yang surut itu.

(arh/sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER