Jakarta, CNN Indonesia -- Berkumpul di markas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (
KontraS), keluarga dan mantan terpidana mendesak pemerintah untuk meninjau kembali pelaksanaan
hukuman mati mengingat masih banyak kejanggalan dalam proses peradilan.
"Tidak ada pembelajaran yang dilakukan pemerintah terkait kejanggalan kasus ini, tapi pemerintah masih tetap memvonis hukuman mati," ujar Kepala Bidang Advokasi KontraS, Putri Kanesia, dalam acara peringatan Hari Antihukuman Mati Dunia pada Selasa (9/10) tersebut.
Putri kemudian memberikan contoh kejanggalan dalam pemberian vonis hukuman mati pada kasus Yusman Telaumbanua, mantan terpidana yang hadir pula dalam acara tersebut.
Putri menceritakan bahwa terpidana itu berhasil lolos dari vonis mati karena tim pengacara dari KontraS berhasil membawa bukti baru berupa hasil pemeriksaan forensik yang menyatakan Yusman masih berusia 19 tahun ketika pemeriksaan dilakukan pada 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, Yusman masih berusia sekitar 16 tahun ketika peristiwa yang disangkakan bergulir.
Akhirnya, Yusman hanya mendapat vonis penjara lima tahun dari Mahkamah Agung dalam sidang peninjauan kembali. Ia pun bebas dari penjara pada 17 Agustus 2017.
Akhir baik dari perjalanan kasus Yusman tak terjadi pada Zulfiqar Ali, terpidana kasus penyelundupan narkoba jenis heroin sebanyak 300 gram.
Hakim memvonis mati Zulfiqar pada 2005 silam. Berhasil terhindar dari eksekusi mati pada 29 Juli 2016, Zulfiqar wafat pada 31 Mei 2018 karena sakit.
Peneliti Imparsial, Evitarossi Budiawan, menjelaskan yang menjadi masalah dalam kasus Zulfiqar adalah unfair trial, yaitu dianiaya dan tidak didampingi pengacara saat proses pemeriksaan.
Masalah berikutnya menurut Eva adalah pengajuan grasi yang sudah disampaikan sejak awal Maret, tapi tak juga diproses oleh Mahkamah Agung.
Menurut prosedurnya, MA hanya punya waktu 30 hari untuk mengeluarkan pertimbangan kepada presiden menyikapi pengajuan grasi.
"Sampai Pak Zulfiqar meninggal dan melebihi ketentuan itu, MA belum juga mengeluarkan pertimbangan," ucap Eva.
Contoh lainnya adalah kasus kepemilikan narkoba yang dialami oleh pria bernama Santa pada 2016. Lukman, adik Santa yang hadir dalam acara tersebut, bercerita bahwa kakaknya hanyalah korban.
Berawal dari perkenalan Santa dengan empat warga negara China, mereka membuat kerja sama bisnis. Pada Juni 2016, keempat orang itu ditangkap atas kepemilikan 20 kilogram sabu.
Santa belakangan juga ditangkap polisi, meskipun dia sudah berusaha membuktikan bahwa ia tidak berada di lokasi penangkapan keempat WN China. Segala barang bukti pun tak ada yang mengarah padanya.
Meski demikian, ia menerima vonis mati, lebih parah dari empat tersangka lainnya yang dijatuhi vonis seumur hidup.
"Saya menolak hukuman mati ini karena kakak saya tidak bersalah, tapi divonis paling tinggi," ucap Lukman dengan nada sedikit geram.
(bin/has)