Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut sedikitnya ada 130 peristiwa penyiksaan yang terjadi dalam satu tahun terakhir, mulai Juni 2017 hingga Mei 2018.
KontraS menyebut data tersebut diketahui berasal dari pengaduan sebanyak 13 kasus dan 117 kejadian merupakan hasil pemantauan dari pemberitaan media.
Koordinator KontraS Yati Andriyani menyebut kasus yang terjadi pada periode saat ini tak berbeda dari masa sebelumnya, yaitu pelaku kekerasan justru berasal dari aparat penegak hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut data yang dihimpun KontraS, lembaga Kepolisian tercatat masih menjadi yang terbanyak melakukan kekerasan dengan 80 kejadian, diikuti oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan 28 kasus, dan sisanya berasal dari petugas Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas.
Lokasi terjadinya kekerasan pada periode terbaru juga disebut Yati tak jauh berbeda dibandingkan yang lalu. Sel tahanan masih jadi tempat penyiksaan terbanyak dengan 64 peristiwa, 28 kasus terjadi di lokasi tertutup, dan 38 peristiwa terjadi di tempat publik.
KontraS juga mencatat kasus menyebar di berbagai provinsi, namun tiga daerah dengan angka kejadian tertinggi adalah Sumatera Utara dengan 18 kasus, Sulawesi Selatan dengan 17 kasus, dan Papua dengan delapan kasus.
"Motif pun begitu, masih sama karena penyiksaan dilakukan karena ingin mencari pengakuan [dari korban] 78 peristiwa dan 52 peristiwa sebagai bentuk hukuman," kata Yati di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/6).
Data KontraS menyebut korban kekerasan berasal dari tiga golongan dengan mayoritas merupakan warga sipil sebanyak 85 orang, 38 tahanan kriminal, dan tujuh sisanya berasal dari aktivis. Korban berusia mulai dari 15 hingga 60 tahun.
Kasus kekerasan yang terjadi juga menimbulkan korban jiwa, sebanyak 27 nyawa tercatat melayang akibat kasus ini dan 141 lainnya mengalami luka-luka.
Sedangkan metode yang dilakukan disebut Yati mulai dari tangan kosong hingga menggunakan senjata tajam dan api.
Di sisi lain, KontraS mengatakan kasus penyiksaan kini juga menyasar kepada terduga maupun tahanan terkait terorisme. Yati menyebut kejadian tersebut terjadi sejak kejadian bom Bali pada 2001 dan makin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
"Polisi pun menjustifikasi penyiksaan atas nama perang melawan terorisme, dan penyiksaan tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM, melainkan kesalahan prosedur biasa." kata Yati.
Tidak Menurun di Tahun PolitikBidang Advokasi KontraS Putri Kanesia menyebut tren penyiksaan di Indonesia tidak akan menurun memasuki tahun politik. Bahkan ia menyebut bakal cenderung naik.
Data KontraS menunjukkan periode 2010 hingga 2013, tren penyiksaan terus meningkat. Namun pada 2014-2015, angka kejadian justru lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
"Jadi itu memang turun, tapi itu karena kami juga mengandalkan media untuk memantau kasus dan fokus pemberitaan mereka tentu berubah kepada Pemilu. Kekerasannya yang menjadi lebih sedikit," kata Putri.
Meski KontraS meyakini kasus penyiksaan akan tetap ada dalam tahun politik mendatang, Yati menyebut kasus yang terjadi tidak terkait dengan politik tertentu.
Yati beranggapan kini penyiksaan dilakukan dengan tujuan memberi hukuman atau mencari pengakuan, alih-alih tindakan represif seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
"Di rezim Orde Baru memang pendekatan kekerasan untuk membungkam ekspresi politik setiap orang. Jadi yang ditangkap pasti terjadi penyiksaan. Dan itu selalu berhubungan dengan aktivitas politik." kata Yati.
(end)