Jakarta, CNN Indonesia -- Jajaran Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim
Polri menciduk empat orang yang diduga telah menyebarkan berita bohong alias
hoaks tentang
penculikan anak lewat media sosial dalam beberapa waktu terakhir.
Kepala Subdirektorat II Dittipidsiber Bareskrim Polri, Komisaris Besar Rickynaldo mengatakan, keempat pelaku terdiri dari tiga orang laki-laki yang bernisial EW (31 tahun), RA (33), JHHS (31), dan satu orang perempuan dengan inisial DNL (21). Keempat pelaku ditangkap di sejumlah wilayah berbeda sejak 1 hingga 2 November.
"Empat pelaku, ada yang kami tangkap di Kemang, Jakarta Selatan kemudian Sentiong, Jakarta Pusat lalu Ciputat, Tangerang Selatan, dan di Kabupaten Bekasi," kata Rickynaldo saat memberikan keterangan pers di kantor sementara Dittipidsiber Bareskrim, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Jumat (2/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Penyebar hoaks ditangkap polisi. (Foto: CNN Indonesia) |
Berdasarkan penyelidikan sementara, dia menerangkan, modus keempat pelaku menyebarkan hoaks soal penculikan anak hanya karena ikut-ikutan dan kasihan melihat video penganiayaan terhadap anak kecil.
Menurutnya, pelaku ingin memberitahukan kepada teman-teman atau orang lain agar berhati-hati dan waspada terhadap aksi penculikan anak. Namun, lanjut Rickynaldo, pelaku tidak menyadari bahwa informasi yang disebarkan itu hoaks dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
"Motifnya ikut-ikutan saja," kata dia.
Rickynaldo menambahkan, pihaknya menyita sejumlah barang bukti dari tangan tersangka antara lain satu unit tablet, tiga unit telepon seluler beserta kartu teleponnya, dan empat akun media sosial Facebook.
Keempat tersangka dijerat dengan Pasal 51 junto Pasal 35 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transkasi Eletronik (ITE) dan/atau Pasal 15 UU nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman pidana penjara 12 tahun atau denda Rp12 miliar.
Orang Tua ResahTerpisah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengaku sangat prihatin atas maraknya informasi yang beredar di masyarakat terkait kasus penculikan anak.
Ketua KPAI Susanto mengatakan, informasi yang beredar itu kebanyakan berita bohong atau hoaks yang justru bisa menimbulkan keresahan di masyarkat, terutama bagi para orang tua.
"Informasi-informasi ini berbahaya, karena mengganggu psikologis orang tua," kata Susanto di Gedung KPAI, Jakarta, Jumat (2/11).
Sedikitnya, kata Susanto, baru-baru ini ada enam kasus penculikan yang kemudian diberitakan sebagai kasus penculikan anak dan sengaja diviralkan melalui media sosial. Enam informasi yang diviralkan itu lima diantaranya justru kasus bohong.
"Lima hoaks, satu benar terjadi di Bali tapi sudah ditangani," katanya.
Susanto pun mengatakan hoaks penculikan ini membuat para orang tua yang memiliki anak resah dan berujung pada kekhawatiran berlebihan. Salah satu bentuk keresahan itu adalah para orang tua rela menunggu anaknya selama kegiatan belajar mengajar di sekolah.
"Beberapa orang tua bahkan sering ribut di grup Whatsapp karena kekhawatiran berlebihan, dan tentunya ini sangat mengganggu psikologis dan kehidupan mereka," katanya.
 Komisioner KPAI, Susanto. Foto: CNNIndonesia/Tri Wahyuni |
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner KPAI Rita Pranawati pun menilai kekhwatiran berlebihan dari orang tua ini, bisa menimbulkan pengawasan yang berlebihan yang dilakukan orangtua terhadap anaknya. Pengawasan berlebihan ini bisa berupa adanya intimidasi, membentak, menekan, memaksa dan mengatur secara ketat aktivitas keseharian anak atas nama ketakutan akan penculikan.
"Kondisi ini akan menimbulkan kegelisahan dan pembatasan yang ketat kepada anak dalam menjalankan aktivitas, sehingga sosialisasi dan kehidupan tumbuh kembangnya tidak berjalan secara wajar," ucap Rita.
Untuk itulah, KPAI meminta pihak kepolisian untuk menindak tegas pelaku hoaks penculikan anak yang meresahkan masyarakat ini.
(mts/tst/ain)