Jakarta, CNN Indonesia --
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas angkat bicara terkait keputusan Badan Kehormatan (BK) yang memberhentikan sementara keanggotaannya di
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) karena faktor kehadiran.
Menurut Hemas, ketidakhadirannya dalam berbagai forum rapat di DPD bukan tanpa alasan. Salah satunya adalah tidak mengakui kepemimpinan
Oesman Sapta Odang (OSO) karena mengambil alih kursi pimpinan secara ilegal.
"Maka kalau saya hadir dalam sidang yang dipimpin OSO dan kawan-kawan, berarti secara langsung mengakui kepemimpinannya," ujar Hemas dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (21/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hemas menjelaskan berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi, MA tidak pernah menyatakan benar dan sah pengambilalihan tersebut. Hemas menegaskan dirinya tak sepakat dengan cara OSO yang dianggap menabrak hukum.
"Tidak boleh ada warga yang kebal hukum apalagi berada di atas hukum. Kalau saya menutup mata akan hal ini, terus buat apa saya jadi anggota DPD RI. Saya menolak kompromi politik di atas DPD," katanya.
Selain itu, Hemas menilai keputusan BK juga tidak memiliki dasar hukum dan cenderung mengesampingkan ketentuan Pasal 313 UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Dalam pasal tersebut, Hemas mengatakan pemberhentian sementara anggota DPD dapat dilakukan jika menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum dengan ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun atau dalam tindak pidana khusus.
"Sanksi yang dijatuhkan BK juga telah mengesampingkan Tata Tertib DPD RI, anggota diberhentikan sementara kalau yang bersangkutan melanggar pidana dan menjadi terdakwa," ujarnya.
 GKR Hemas menolak kepemimpinan Oesman Sapta Odang (OSO) di DPD RI. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto) |
Di sisi lain, Hemas menilai BK telah menunjukkan sikap diskriminatif. Sebab, BK kata dia, tidak memproses laporan Afnan Hadikusumo terhadap anggota DPD Benny Ramdhani karena tengah diproses di Kepolisian.
Selain Afnan, BK kata dia juga tidak memproses laporan dua mantan anggota DPD RI Muspani dan Bambang Soeroso terhadap Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono bulan Oktober lalu ke BK terkait keputusan sikap politik DPD RI yang ingin meninjau ulang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Surat yang dibuat Nono dengan Kop Surat DPD itu kata Hemas, diputuskan tidak melalui mekanisme dan prosedur yang diatur dan diputuskan dalam sidang paripurna DPD sebagaimana diatur di tata tertib.
"Laporan keduanya dianggap sepi. Semoga semua pihak dapat memahami apa yang saya perjuangkan selama ini," katanya.
Pemberhentian Hemas disampaikan Ketua BK DPD Mervin S Komber dalam Sidang Paripurna DPD, Kamis (20/12) kemarin.
Mervin menyatakan Hemas diberhentikan sementara karena sudah lebih enam kali tidak pernah menghadiri dan 12 kali berturut-turut tidak hadir dalam sidang paripurna DPD. Hemas disebut juga telah melewati tahapan sanksi lisan dan tertulis.
"Sesuai dengan aturan yang berlaku maka kemudian dijatuhkan sanksi pemberhentian sementara," kata Mervin dalam keterangannya.
Tak hanya kepada Hemas, Mervin mengatakan hukuman serupa juga dijatuhi senator asal Riau, yakni Maimana Umar serta beberapa senator lain dengan tingkat hukuman yang berbeda-beda sesuai dengan kesalahannya.
Hukuman untuk Hemas ini kata dia, diikuti dengan persyaratan pemulihan status sebagai anggota DPD, yaitu berupa permintaan maaf secara lisan dan tertulis di Sidang Paripurna DPD RI dan juga wajib meminta maaf di media massa lokal dan nasional kepada masyarakat yang diwakilinya.
"Sanksi pemberhentian sementara tidak berlaku untuk Bu Hemas dan Bu Maimana saja. Sebelumnya senator Bali Arya Wedakarna juga sudah kena sanksi sama dan Beliau menjalani semuanya dan dipulihkan. Jadi berlaku setara untuk semua," ucap Mervin.
(swo/dal)