Jakarta, CNN Indonesia --
Tsunami dari Selat Sunda yang menghantam Pantai Barat Banten dan
Selatan Lampung mengakibatkan
ratusan korban jiwa dan luka. Ribuan orang juga mengungsi meninggalkan tempat tinggalnya karena takut berada di bibir pantai.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebut sedikitnya 430 orang meninggal dunia, 1.495 korban luka, dan 159 orang masih belum ditemukan.
Jumlah pengungsi, menurut catatan BNPB per Rabu, sebanyak 21 ribu orang. Hingga kini, sejumlah instansi terus melakukan evakuasi dan mencari korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah warga yang ditemui
CNNIndonesia.com mengakui tak mendapatkan informasi mengenai mitigasi dan sosialisasi soal tsunami.
Eli (25), warga Kecamatan Sumur, Kabupaten Lebak, Banten mengatakan dirinya tidak pernah mendapat sosialisasi dari pihak manapun. Entah itu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi Klimatologi, dan, Geofisika (BMKG) atau instansi lain seperti pemerintah daerah.
Sehingga, dia bersama warga lain tidak tahu tanda-tanda tsunami. Terlebih, Eli pun belum pernah melihat tsunami secara langsung.
"Itu (sosialisasi) mah belum pernah ada. Di sini juga enggak ada sirine tsunami," kata Eli, Rabu (26/12).
"Paling melihat di Facebook, WhatsApp, televisi. Informasi itu sering ketemu, tapi sosialisasi dengan ketemu langsung mah belum pernah ada," ucapnya.
Eli mengamini bahwa sebelum tsunami menerjang, tidak ada fenomena alam yang ganjil. Semuanya tampak seperti biasa. Dia mengatakan Sabtu malam lalu (22/12), bulan purnama sangat terang. Laut menjadi jelas kelihatan hingga kejauhan. Hujan pun tidak turun.
Dikarenakan tidak ada suasana ganjil, Eli bersama tetangganya bercengkerama bersama tetangga di teras rumahnya yang berada di bibir pantai. Hingga kemudian, dia melihat gelombang air laut pasang dari arah laut menuju ke arah dirinya. Saat itu, barulah Eli bergegas meninggalkan pantai.
 Suasana usai terjangan tsunami. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki) |
Akan tetapi, menurut Eli, warga berhamburan meninggalkan pantai tak tentu arah. Semuanya berlarian tanpa tahu ke mana arah yang dituju. Padahal, kata Eli, di sana banyak berdiri plang-plang penunjuk arah evakuasi jika terjadi tsunami.
Tak Ada SimulasiEli menyebut plang-plang arah evakuasi itu sudah lama didirikan. Namun, tidak pernah ada simulasi menghindari pantai ketika terjadi tsunami atau gejala-gejalanya.
"Selama saya tinggal di kampung ini, hampir 20 tahun lebih belum pernah ada (simulasi). "Akhirnya kemarin kan banyak yang luka kakinya, ada yang
nabrak pohon. Macam-macam," ucap Eli.
Eli berharap ada pihak yang mau memberikan penyuluhan atau sosialisasi perihal fenomena alam sebelum tsunami menerjang. Menurut Eli, masyarakat yang tinggal di kampungnya tidak tahu tentang gejala atau tanda-tanda tsunami. Padahal, tidak sedikit yang bermukim persis di bibir pantai.
Apa yang disampaikan Eli tidak jauh berbeda dengan penuturan Mu'in, warga Teluk Labuan, Pandeglang, Banten.
Mu'in sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Rumahnya hancur diterjang ombak tsunami. Dia beruntung bisa selamat lantaran masih terjaga pada Sabtu malam lalu (22/12). Mu'in langsung lari menjauh dari pantai ketika melihat air datang dari laut.
"Saya lari ke gunung bukan karena disuruh. Saya lihat sendiri air dari laut. Tinggi. Makanya saya lari. Sebelumnya enggak ada imbauan suruh saya pergi dari pantai. Tidak ada yang bilang bakal ada tsunami," ucap Mu'in.
Mu'in mengatakan ada sirine tsunami yang terpasang di dekat tempat tinggalnya. Akan tetapi, alat mitigasi itu tidak nyala saat gelombang datang. Mu'in mengatakan malam itu bulan purnama bersinar terang, sehingga gelombang tinggi dari laut terlihat jelas.
Mu'in mengaku tidak pernah melihat tsunami seperti yang terjadi pada Sabtu lalu (22/12). Selain itu, dia pun menyebut tidak pernah mendapat penyuluhan tentang gejala-gejala terjadinya tsunami.
"Kalau saya enggak pernah. Enggak tahu kalau warga yang lain. Saya kan nelayan. Lama di laut. Mungkin ada penyuluhan tapi saya lagi di laut. Saya sendiri jadi nelayan dari tahun 1978, belum pernah dapat penyuluhan," ucap Mu'in.
(asa)