Jakarta, CNN Indonesia -- Menjelang malam pergantian
tahun 2018 menuju 2019, sejumlah pemerintah daerah mengeluarkan imbauan. Intinya, mengingatkan masyarakat agar tak berlebihan merayakan malam
tahun baru. Tanpa kembang api, tanpa panggung hiburan.
Pemprov Sulawesi Selatan meminta warganya untuk tidak melakukan pawai kendaraan, pesta kembang api, mengadakan panggung hiburan dan lain-lain. Warga diimbau melakukan hal positif, misalnya memberikan sumbangan kepada warga Banten dan Lampung yang baru saja terdampak tsunami.
Imbauan serupa diterbitkan Pemerintah Kalimantan Utara. Mereka meminta warganya tidak menyalakan kembang api, petasan. Bahkan, meniup terompet pun lebih baik tidak dilakukan. Tempat hiburan diimbau untuk tutup. Lebih baik, menurut Pemprov Kaltara, warga melakukan ibadah agama masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Imbauan Pemprov Kaltara tak jauh berbeda dangan Pemprov Riau dan Nusa Tenggara Barat, Kota Tangerang Selatan, Banten dan Kabupaten Ogan Komering Hilir, Riau.
Sejumlah pemda ingin masyarakat membuka mata bahwa telah ada bencana alam di sejumlah daerah. Mereka menggugah warganya untuk bersimpati dengan mereka yang terdampak bencana alam dengan tidak merayakan malam pergantian tahun baru.
Namun, Antropolog Universitas Indonesia Rudy Kipam berpendapat imbauan pemda itu tidak akan manjur dan tidak akan dipatuhi warga. Menurut dia, imbauan untuk tidak merayakan tahun baru tidak logis dan tidak akan mampu membatasi masyarakat yang ingin menyambut dan merayakan tahun baru.
Motif pemda mengeluarkan imbauan dengan membawa bencana alam dinilai Rudy tidak akan manjur untuk mencegah warga merayakan tahun baru.
"Misalnya bencana alam terjadi menjelang Maulid Nabi atau Idulfitri. Apa tidak boleh merayakan lebaran? Apakah boleh Dianggap tidak menghormati dan tidak prihatin dengan yang kena bencana?" kata Rudy kepada
CNNIndonesia.com, Senin (31/12).
Rudy menduga bencana alam bukan alasan utama pemerintah daerah mengeluarkan imbauan kepada warga untuk tidak merayakan tahun baru. Dia mengatakan ada alasan politis di balik imbauan tersebut.
Menurut Rudy, pemerintah daerah yang menerbitkan imbauan telah mempolitisasi malam tahun baru. Katanya, seolah-olah pemerintah daerah ingin memposisikan perayaan tahun baru sebagai ritual agama tertentu. Padahal, tidak sama sekali.
"Politislah. Itu Isu sentimen agama yang sebetulnya diangkat. Kalau saya menginterpretasikannya seolah perayaan tahun baru masehi ini ritual agama tertentu," kata Rudy.
Rudy menganggap sikap sejumlah pemda tersebut merupakan imbas politik identitas yang makin marak di ruang publik. Akhirnya, kepala-kepala daerah menjadi semakin berani untuk memberi batasan yang tidak seharusnya.
"Dan mereka yang melarang perayaan tahun baru itu juga bagian dari para pemain politik identitas," kata Rudy. "Yang saya sedihkan juga tempat hiburan enggak boleh buka, memang ini ada apa? Apakah negara sedang dalam keadaan darurat? Ini enggak logis sama sekali."
Rudy prihatin dengan sikap sejumlah pemda yang meminta warganya tidak merayakan tahun baru. Kata dia, pemda-pemda tersebut membuat batas sosial di masyarakat menjadi semakin jelas.
Padahal, lanjut Rudy, pemda mestinya menciptakan suatu kerukunan meski banyak perbedaan. Dia menegaskan Indonesia adalah negara yang dibentuk oleh heterogenitas suku, agama, dan etnis masyarakatnya.
"Kepala daerah yang mestinya bicara tentang kebangsaan, tentang kerukunan, persatuan, kesatuan, kok malah melenceng dari sila Pancasila. Ini menyedihkan. Ini justru memprovokasi. Ini kan bisa membuat batas sosial menjadi semakin tegas. Ini yang seharusnya dicegah," kata Rudy.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman menyebut imbauan pemda itu tidak akan memengaruhi masyarakat secara umum. Apalagi bagi mereka yang berdomisili cukup aman dari bencana alam.
“Imbauan itu hanya ditangkap oleh masyarakat yang dekat pantai atau gunung. Kalau yang jauh dari itu, ya enggak,” kata Sunyoto.
Sunyoto menganggap imbauan pemda yang mendambakan warganya tidak merayakan tahun baru hanya dapat dicerna dengan baik oleh mereka yang memiliki memori. Misalnya, warga pesisir Aceh, Banten, Lampung dan seterusnya yang berpengalaman merasakan terjangan tsunami.
Dia lantas menganggap pemerintah daerah tengah mendekonstruksi kultur yang ada di masyarakat. Namun, lanjut Sunyoto, tidak mudah mengubah kultur merayakan tahun baru yang telah lama melekat di masyarakat.
"Enggak bisa mendadak. Itu harus sudah ada desain sejak lama. Enggak mungkin itu sekarang diumumkan kemudian patuh. Butuh sosialisasi. Butuh perubahan nalar-nalar baru," kata Sunyoto.
Pendapat senada dilontarkan Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet.
Menurut dia, keliru jika pemda ingin warganya lebih mengutamakan kegiatan sosial untuk warga daerah lain terdampak bencana daripada bersenang-senang merayakan tahun baru.
Robet menegaskan bahwa masyarakat memiliki keprihatinan yang tinggi. Tanpa diimbau sekalipun, inisiatif menggalang dan memberikan bantuan akan dilakukan dengan sendirinya.
Dia menganggap masyarakat Indonesia sudah sangat peka jika terjadi bencana alam.
"Masyarakat kita enggak usah diajari. Masyarakat kita sudah lebih dahulu melakukan. Justru pemda yang harus lebih aktif mencegah (bencana) dan membangun kembali," ucap Robet.
Dia menyebut imbauan pemerintah melarang warga merayakan tahun baru perlu dipertanyakan.
"Kalau begini kejam namanya. Orang-orang kita sudah membantu, sekarang kok dilarang bersenang senang pula," katanya.
Pendapat berbeda disampaikan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi. Dia meminta kepada masyarakat agar tidak menyambut tahun baru 2019 secara berlebihan, apalagi sampai foya-foya. Menurut dia, tidak perlu ada perayaan hingga menghabiskan banyak uang.
Zainut menilai alangkah baik jika masyarakat banyak bersyukur karena telah diberikan karunia berupa umur panjang, kesehatan, dan kemurahan rezeki. Oleh karena itu, lanjut Zainut, masyarakat hendaknya memperbanyak doa, zikir dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
"Khususnya berdoa untuk keselamatan bangsa dan negara dari berbagai musibah dan ancaman bencana yang akhir-akhir ini sering menimpa bangsa Indonesia," kata Zainut.
Sekjen MUI Anwar Abbas berpendapat bahwa imbauan pemda mengingatkan warga agar tak merayakan malam tahun baru merupakan hal tepat.
"Saya sangat-sangat setuju karena segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan itu tidak baik," kata Anwar.
Anwar mengatakan selama ini bangsa Indonesia banyak mencontoh dan meniru cara-cara memperingati pergantian tahun baru ke barat dan Amerika, mungkin sudah saatnya juga negara yang punya falsafah Pancasila melakukan peringatan tahun baru dengan cara yang lebih cocok dan sesuai dengan kepribadian dan jati diri bangsa.
"Untuk itu sudah waktunya juga kita menentukan sikap dan memilih cara kita sendiri dalam merayakan pergantian tahun dengan cara-cara yang sarat dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa kita sendiri," katanya.
Apalagi, kata dia, saat ini negara kita sedang banyak mendapat musibah berupa gempa bumi dan tsunami sehingga banyak anak bangsa yang kehilangan rumah dan harta kekayaannya.
"Akan sangat baik dalam situasi seperti itu kita menahan diri," kata dia.
Dia yakin dan percaya, bila cara-cara memperingati tahun baru sesuaikan dengan ajaran agama dan budaya kita maka tidak mustahil dunia dan negara-negara lain akan menoleh ke Indonesia.
"Sehingga pada waktunya juga akan bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi perkembangan pariwisata di Tanah Air," katanya.