Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman menyebut imbauan pemda itu tidak akan memengaruhi masyarakat secara umum. Apalagi bagi mereka yang berdomisili cukup aman dari bencana alam.
“Imbauan itu hanya ditangkap oleh masyarakat yang dekat pantai atau gunung. Kalau yang jauh dari itu, ya enggak,” kata Sunyoto.
Sunyoto menganggap imbauan pemda yang mendambakan warganya tidak merayakan tahun baru hanya dapat dicerna dengan baik oleh mereka yang memiliki memori. Misalnya, warga pesisir Aceh, Banten, Lampung dan seterusnya yang berpengalaman merasakan terjangan tsunami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia lantas menganggap pemerintah daerah tengah mendekonstruksi kultur yang ada di masyarakat. Namun, lanjut Sunyoto, tidak mudah mengubah kultur merayakan tahun baru yang telah lama melekat di masyarakat.
"Enggak bisa mendadak. Itu harus sudah ada desain sejak lama. Enggak mungkin itu sekarang diumumkan kemudian patuh. Butuh sosialisasi. Butuh perubahan nalar-nalar baru," kata Sunyoto.
Pendapat senada dilontarkan Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet.
Menurut dia, keliru jika pemda ingin warganya lebih mengutamakan kegiatan sosial untuk warga daerah lain terdampak bencana daripada bersenang-senang merayakan tahun baru.
Robet menegaskan bahwa masyarakat memiliki keprihatinan yang tinggi. Tanpa diimbau sekalipun, inisiatif menggalang dan memberikan bantuan akan dilakukan dengan sendirinya.
Dia menganggap masyarakat Indonesia sudah sangat peka jika terjadi bencana alam.
"Masyarakat kita enggak usah diajari. Masyarakat kita sudah lebih dahulu melakukan. Justru pemda yang harus lebih aktif mencegah (bencana) dan membangun kembali," ucap Robet.
Dia menyebut imbauan pemerintah melarang warga merayakan tahun baru perlu dipertanyakan.
"Kalau begini kejam namanya. Orang-orang kita sudah membantu, sekarang kok dilarang bersenang senang pula," katanya.
Pendapat berbeda disampaikan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi. Dia meminta kepada masyarakat agar tidak menyambut tahun baru 2019 secara berlebihan, apalagi sampai foya-foya. Menurut dia, tidak perlu ada perayaan hingga menghabiskan banyak uang.
Zainut menilai alangkah baik jika masyarakat banyak bersyukur karena telah diberikan karunia berupa umur panjang, kesehatan, dan kemurahan rezeki. Oleh karena itu, lanjut Zainut, masyarakat hendaknya memperbanyak doa, zikir dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
"Khususnya berdoa untuk keselamatan bangsa dan negara dari berbagai musibah dan ancaman bencana yang akhir-akhir ini sering menimpa bangsa Indonesia," kata Zainut.
Sekjen MUI Anwar Abbas berpendapat bahwa imbauan pemda mengingatkan warga agar tak merayakan malam tahun baru merupakan hal tepat.
"Saya sangat-sangat setuju karena segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan itu tidak baik," kata Anwar.
Anwar mengatakan selama ini bangsa Indonesia banyak mencontoh dan meniru cara-cara memperingati pergantian tahun baru ke barat dan Amerika, mungkin sudah saatnya juga negara yang punya falsafah Pancasila melakukan peringatan tahun baru dengan cara yang lebih cocok dan sesuai dengan kepribadian dan jati diri bangsa.
"Untuk itu sudah waktunya juga kita menentukan sikap dan memilih cara kita sendiri dalam merayakan pergantian tahun dengan cara-cara yang sarat dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa kita sendiri," katanya.
Apalagi, kata dia, saat ini negara kita sedang banyak mendapat musibah berupa gempa bumi dan tsunami sehingga banyak anak bangsa yang kehilangan rumah dan harta kekayaannya.
"Akan sangat baik dalam situasi seperti itu kita menahan diri," kata dia.
Dia yakin dan percaya, bila cara-cara memperingati tahun baru sesuaikan dengan ajaran agama dan budaya kita maka tidak mustahil dunia dan negara-negara lain akan menoleh ke Indonesia.
"Sehingga pada waktunya juga akan bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi perkembangan pariwisata di Tanah Air," katanya.
(bmw/ug)