Jakarta, CNN Indonesia -- Pernyataan
Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok soal surat Al Maidah memicu aksi berjilid-jilid di Jakarta, termasuk Aksi 2 Desember 2016 atau yang lebih dikenal dengan Aksi 212. Nama 212 selanjutnya terus dipelihara dan terkesan menjadi merek tersendiri bagi sebuah gerakan.
Setelah videonya yang mengutip surat Al Maidah ayat 51
viral di media sosial, Ahok mendapat banyak kecaman. Tercatat 14 laporan soal penodaan agama dilayangkan untuk Ahok.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) di bawah kepemimpinan Ma'ruf Amin mengeluarkan sikap keagamaan yang menyatakan bahwa Ahok menghina Alquran dan ulama. MUI juga meminta aparat polisi memproses hukum Ahok.
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) di bawah pimpinan Bachtiar Nasir dibentuk untuk mengawalnya. Gelombang unjuk rasa terhadap Ahok pun dimulai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demonstrasi bertajuk Aksi Bela Islam yang digawangi ratusan anggota Front Pembela Islam (FPI) di bawah pimpinan Rizieq Shihab digelar perdana di depan Balai Kota Jakarta, 14 Oktober 2016. Mereka menuntut penangkapan Ahok.
![Ada Ahok di balik Kebangkitan Gerakan 212 dan Ma'ruf [LIPSUS]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2017/12/01/e12cc0d4-3dc7-4ce0-a37e-32c5883c8620.jpg?a=1) Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
Namun, unjuk rasa itu tak menghasilkan apa-apa. GNPF MUI bersama FPI dan ormas Islam lainnya menggelar Aksi Bela Islam jilid II pada 4 November 2016.
Tuntutan yang diajukan masih sama: tangkap dan proses Ahok. Kali ini, peserta aksi diperkirakan mencapai ratusan ribu. Massa berkumpul di di depan Istana Kepresidenan. Aksi itu kemudian dinamakan Aksi 411.
Massa meminta untuk bertemu Presiden Joko Widodo untuk melakukan intervensi terhadap kasus itu. Namun, massa hanya bisa bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla karena Jokowi sedang tidak ada di tempat.
Sebagian massa tidak puas dan menyerang aparat keamanan. Bentrokan tak terhindarkan. Massa melempari aparat dengan botol dan batu, sedangkan aparat membalas dengan tembakan air mata.
Kericuhan bisa dipadamkan usai Jokowi mengumumkan bakal memastikan Ahok diproses hukum. Keputusan itu diambil lewat rapat terbatas mendadak di Istana pada 5 November 2018 dini hari.
Janji Jokowi terealisasi pada 16 November 2018. Polisi menetapkan Ahok jadi tersangka kasus dugaan penodaan agama.
 Peserta Reuni Alumni 212. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Meski begitu, tekanan publik tak kunjung reda. GNPF MUI, FPI, dan beberapa ormas Islam lainnya berkukuh menggelar aksi yang lebih besar pada 2 Desember 2016. Gerakan untuk menghadiri aksi ini disebar jauh-jauh hari melalui media sosial.
Pada hari H, aksi dimulai sejak dini hari. Massa berpusat di kawasan Monumen Nasional (Monas). Beberapa tokoh berorasi secara bergantian dengan satu poin yang sama: tangkap Ahok.
"Kalau Ahok tidak ditahan, kami akan turun lagi," kata Imam Besar FPI Rizieq Syihab saat itu.
Aksi mencapai puncak saat massa melakukan Salat Jumat berjamaah di tengah hujan di Lapangan Monas. Jokowi secara mengejutkan juga hadir dalam Salat Jumat berjamaah. Ia datang didampingi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan beberapa pejabat lainnya.
Aksi Bela Islam terus dilanjutkan pada 11 Februari 2017, 21 Februari 2017, 31 Maret 2017 dan 5 Mei 2017.
Tak cukup dengan aksi berjilid bertajuk Bela Islam, gerakan massa berlanjut dengan Tamasya Al-Maidah. Berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya yang menuntut proses hukum, Tamasya Almaidah tegas terkait dengan politik.
 Rizieq Shihab saat berorasi dalam unjuk rasa bertajuk Aksi 212 di depan Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (21/2/2016). ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Gerakan yang dimotori beberapa tokoh seperti Rizieq Shihab, Rizieq Shihab, dan Ansufri Idris Sambo ini memobilisasi massa untuk mengawal pencoblosan Pilkada DKI 2017.
Tamasya Al-Maidah ini juga jadi momen kelahiran Presidium Alumni 212 di bawah kepemimpinan Sambo. Sambo menjelaskan Tamasya Al-Maidah dilakukan untuk mencegah Ahok yang dianggap penista agama menang.
"Supaya Ahok tidak menang, siapapun calon [lawannya]-nya," kata Sambo dalam jumpa pers di Jakarta, 17 April 2017.
Aksi-aksi berjilid ditambah Tamasya Al Maidah seakan berhasil. Ahok yang maju bersama Djarot Saiful Hidayat pun kalah. Ia mendapat 42,04 persen suara, kalah dari pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang memiliki 57,96 persen suara, pada Pilkada DKI Jakarta putaran kedua.
Tak hanya kalah, Ahok juga harus mendekam di Rumah Tahanan Mako Brimob, Depok, usai Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutusnya bersalah pada 9 Mei 2017. Ahok dianggap melanggar Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
Setelah sukses 'menumbangkan' Ahok,
Presidium Alumni 212 (PA 212) tak mengendurkan manuvernya. Posisi tawar yang naik karena Aksi Bela Islam membuat kelompok ini menjadi dirijen gerakan massa antirezim
Jokowi.
PA 212 juga jadi organisasi di balik beberapa Reuni 212 pada 2017 dan 2018, aksi tolak Facebook, dan aksi menuntut penangkapan Sukmawati Soekarnoputri.
Organisasi ini pun sempat pecah di awal 2018. Tak ada lagi musuh bersama setelah Ahok dan suasana di tahun politik membuat pucuk pimpinan PA 212 berpencar.
Ansufri Idris Sambo dan barisannya memisahkan membentuk Garda 212. Sambo sempat menyebut pembentukan Garda 212 tak terlepas dari politik praktis.
Kemudian Aminudin dan kawan-kawan tetap bersikukuh bertahan dengan Presidium Alumni 212. Ia mengklaim gerakan ini sebagai wadah yang direstui Rizieq Shihab yang hengkang ke Arab Saudi.
Barisan paling besar di bawah kepemimpinan Slamet Maarif, mengubah nama menjadi Persaudaraan Alumni 212. Pergantian nama dilakukan lewat Musyawarah Nasional yang digelar 25-27 Januari 2018.
 Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif. ( CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Dalam barisan ini, ada sejumlah tokoh yang sedari awal jadi motor gerakan 212, seperti Amien Rais, Slamet Ma'arif, Al Khaththath, Eggi Sudjana, dan Bernard Abdul Jabar.
"Yang mendapat rekomendasi, atau izin, atau amanat dari Habib Rizieq, hanya Persaudaraan Alumni 212," kata Eggi di Jakarta Selatan, 27 Januari 2018.
Sejak saat itu, PA 212 di bawah kepemimpinan Slamet Maarif jadi kepanjangan tangan Rizieq. Mereka mulai menunjukkan kecondongan sikap politik mereka ke lawan-lawan Jokowi, yakni Gerindra, PKS, PAN.
GNPF MUI juga berubah nama menjadi GNPF Ulama. Bersama PA 212 dan GNPF Ulama memfasilitasi perintah Rizieq untuk menggelar Ijtimak Ulama pada 27-29 Juli 2018. Gelaran itu bertujuan menentukan sikap dukungan 'ulama' terhadap kandidat di Pilpres 2019.
Ijtimak Ulama menghasilkan rekomendasi duet Prabowo Subianto-Abdul Somad. Namun hasil itu tidak digubris. Prabowo memutuskan maju dengan menggandeng Sandiaga Uno.
Kemudian Ijtimak Ulama II pun digelar pada 16 September 2018. Gelaran itu merevisi rekomendasi dukungan sesuai pilihan Prabowo dengan sejumlah syarat.
 Politikus PAN Amien Rais menjabat Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat Persaudaraan Alumni 212. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sikap politik PA 212 dan GNPF Ulama pun semakin kentara setelah itu. Beberapa tokoh, seperti Slamet Maarif, Yusuf Muhammad Martak, Eggi Sudjana, dan Al Khaththath masuk Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Hal ini menimbulkan perpecahan kembali di tubuh PA 212. Sejumlah tokoh memutuskan keluar dari PA 212. Yang terbaru, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Usamah Hisyam memilih memilih mundur dari jabatan anggota Penasihat PA 212 karena menilai gerakan PA 212 sudah terkontaminasi dengan politik praktis dan menghilangkan perannya sebagai pengawal syariat Islam.