Jejak Radikal Ba'asyir, dari Era Soeharto hingga Jokowi

CNN Indonesia
Sabtu, 19 Jan 2019 12:31 WIB
Abu Bakar Ba'asyir dikenal masa mudanya sebagai aktivis mahasiswa sebelum membangun pesantren, lalu disebut sebagai pemimpin gerakan Islam radikal di Indonesia.
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , 18 Januari 2019. (dok. istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Cuaca masih kelabu setelah hujan reda di depan Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jumat (18/1). Tiga sosok berbalut baju koko keluar dari lapas tersebut. Mereka langsung dikerubuti para wartawan yang telah menunggu.

Salah seorang di antara mereka, Yusril Ihza Mahendra, mengaku diutus Presiden Joko Widodo untuk menemui terpidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir untuk mengabarkan rencana pembebasannya.

"Pak Jokowi mengatakan bahwa dibebaskan jangan ada syarat-syarat yang memberatkan beliau. Jadi beliau menerima semua itu dan ini bukan mengalihkan beliau seperti tahanan rumah tidak," ujar Yusril yang juga dikenal sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Yusril tak memberi tahu mekanisme apa yang ditempuh Jokowi untuk membebaskan Ba'asyir. Dia hanya menyebut rencana pembebasan ini berdasarkan pertimbangan kemanusiaan.

Abu Bakar Ba'asyir bin Abu Bakar Abud lahir di Jombang pada 1938 silam. Ia menjalani kurungan bui di Lapas Sindur sebagai terpidana teroris dengan vonis 15 tahun penjara.

Vonis itu dijatuhkan pada 2011 di mana Ba'asyir disebut terbukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di Pegunungan Jantho, Aceh pada 2010.

Abu Bakar Ba'asyir, Yusril Ihza Mahendra santap siang bersama Abu Bakar Ba'asyir saat membesuknya di Lapas Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, 18 Januari 2019. Turut pula koordinator kuasa hukum Ba'asyir, Achmad Michdan. (Dok. Istimewa)

Masa Muda Aktivis, Membangun Pesantren, dan Gerakan Radikal

Jebolan Pondok Pesantren Gontor pada 1959 ini merupakan lulusan Fakultas Dakwah Universitas al-Irsyad, Solo pada 1963. Ia diketahui pernah menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Solo yang lalu masuk struktur kepengurusan Pemuda Al-Irsyad Solo, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam.

Pada awal dasawarsa 1970-an, Ba'asyir mulai merintis pendirian perguruan Islam. Ia akhirnya resmi mendirikan pondok pesantren Al-Mukmin di Dusun Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah pada 1972.

Hampir sedekade setelah pendirian pesantren tersebut, Ba'asyir ditangkap penguasa Orde Baru, Soeharto. Tuduhan atas penangkapannya bersama rekan seperjuangan membangun pesantren, Abdullah Sungkar, adalah menghasut orang menolak asas tunggal Pancasila dan melarang hormat pada bendera Merah Putih. Ia menyebut itu perbuatan syirik.

Akhirnya, Ba'asyir mendekam di bui kali pertama dengan vonis 9 tahun penjara. Pada 1985 saat Ba'asyir dan Abdullah menjadi tahanan rumah, keduanya melarikan diri ke Malaysia.

Di negeri jiran tersebut, Ba'asyir disebut memupuk pembentukan gerakan radikal, Jamaah Islamiyah. Afiliasinya disebutkan ke Al-Qaeda. Namun Ba'asyir menolak dikatakan demikian. Dia mengaku tidak membentuk satu gerakan apapun.

Walaupun begitu, nama Ba'asyir masuk ke dalam laporan badan intelijen Amerika Serikat (CIA).


Ketika Orde Baru runtuh pada 1998 silam, Ba'asyir kembali ke Indonesia dan terlibat dalam organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang berniat untuk menegakkan syariat Islam.

Pada 8 Agustus 2002, Majelis Mujahidin Indonesia mengadakan kongres I di Yogyakarta untuk membentuk struktur kepemimpinan. Ba'asyir disebut terpilih sebagai Ketua Mujahidin. Setelah itu, ia pun kembali mengajar di Pesantren Ngruki.

Namun, Ba'asyir bolak-balik ditangkap polisi, menjalani persidangan, dan divonis penjara. Pada 18 Oktober 2002, Ba'asyir ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus bom Bali.

Pada 3 Maret 2005 Ba'asyir dinyatakan bersalah dan divonis 2,6 tahun penjara atas konspirasi serangan bom Bali 2002, namun tak terbukti atas tuduhan terkait dengan bom 2003.

Saat peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 2005, Ba'asyir menerima pengurangan hukuman dan baru bebas pada 14 Juni 2006. Pada 9 Agustus 2010 ia kembali ditangkap polisi dengan tuduhan pembentukan dan pelatihan cabang Al-Qaeda di Aceh.

Akhirnya pada 16 Juni 2011, Ba'asyir dijatuhi vonis 15 tahun penjara. Ia sempat berjuang melalui mekanisme hukum dari kasasi hingga Peninjauan Kembali (PK).

PK yang diajukan Ba'asyir pada 2015 silam ditolak Mahkamah Agung pada pertengahan 2016. Tempat penahanan Ba'asyir dipindahkan dari yang semula di Lapas Pasir Putih Nusakambangan jadi ke Lapas Gunung Sindur.

Ba'asyir sempat disebut berbaiat kepada kelompok radikal ISIS yang berbasis di Irak dan Suriah. Itu disebut-sebut karena pengaruh Aman Abdurrahman alias Oman yang pernah bergabung dalam Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) bentukan Ba'asyir.

Namun, Aman yang kemudian membangun Jamaah Anshar Daulah (JAD) membantah itu saat dirinya menjadi terdakwa terorisme di PN Jakarta Selatan pada 3 April 2018.

(bersambung ke halaman berikutnya...)

Alasan Pembebasan Gara-gara Faktor Usia dan Kesehatan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER