Janji Surga Politikus dan Riak Kecil Gerakan Buruh

CNN Indonesia
Rabu, 01 Mei 2019 08:07 WIB
Pengamat menilai buruh harus bersatu dalam partai politik agar tak lagi diombang-ambingkan janji manis para politikus pada setiap Pemilu.
Ilustrasi demo buruh. (Foto: CNN Indonesia/Setyo Aji Harjanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gerakan buruh di Indonesia dinilai mewarnai kondisi politik pada setiap rezim pemerintahan. Di antaranya, upaya para pekerja untuk membentuk partai dan berkontestasi menjadi peserta Pemilu di 1999, 2004, dan 2009. Mesin politik itu di antaranya adalah Partai Buruh Nasional, Partai Buruh Sosial Demokrat dan Partai Buruh.

Di Pemilu 2019, partai berlabelkan buruh tidak ada lagi. Namun demikian, para serikat buruh menentukan sikap politik mereka. Dua serikat buruh besar yang ada di Indonesia: Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) punya sikap yang berlainan.

KSPI menyatakan dukungannya untuk pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Presiden KSPI Said Iqbal, pun sempat diperkenalkan oleh Prabowo sebagai salah satu calon menteri dalam kabinetnya bila kelak terpilih.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KSPI memandang perjuangan buruh tidak cukup dilakukan dengan demonstrasi atau advokasi kasus-kasus saja. Maka dari itu mereka menilai wajar-wajar saja kalau serikat buruh mendukung kandidat tertentu di pilkada atau pemilu presiden.


KSPI selama ini memang kerap memberikan dukungan terbuka terhadap kandidat. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 silam, mereka mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Mereka juga sempat mendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI Jakarta 2017, meski kemudian mandatnya ditarik kembali.

Konfederasi KASBI punya sikap yang berbeda. Organisasi itu tak mau memberi dukungan seperti yang dilakukan KSPI. Sikap demikian diambil karena mereka memandang pemilu tidak ada urusannya dengan kebutuhan masyarakat. Justru yang terjadi, demikian organisasi itu, adalah buruh sebatas jadi lumbung suara yang kerap diberikan janji-janji manis politikus.

Pengamat perburuhan dari Universitas Airlangga Hadi Shubhan, menilai gerakan buruh di panggung politik tidak efektif dalam beberapa waktu terakhir, khususnya di Pemilu 2019.

Menurut dia, langkah mendeklarasikan diri mendukung salah satu partai politik atau pasangan capres dan cawapres yang bertarung akan merugikan serikat buruh terkait.


Hadi mengatakan, suara-suara yang disampaikan oleh serikat buruh terkait hanya akan dianggap sebagai suara oposisi bila partai politik atau pasangan capres dan cawapres yang menang bukan yang didukungnya.

"(Deklarasi) malah merugikan. Misalnya ada aktivis buruh yang mendukung (paslon) 02 kemudian yang menang (paslon) 01. Nanti perjuangan dia malah tidak didengar karena dianggap suara oposisi," ucap Hadi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (30/4).

Ilustrasi demo buruh. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Dia menerangkan perjuangan buruh di panggung politik akan lebih efektif bila dilakukan tanpa berafiliasi dengan partai politik atau pasangan capres dan cawapres tertentu.

Menurutnya, buruh harus bersikap independen dan cukup berkelompok dalam serikat tanpa perlu khawatir akan diabaikan oleh elite politik karena buruh memiliki massa riil dan isu seksi.

"Massa buruh riil dan banyak terus isunya buruh seksi, jadi meski tidak berafiliasi ke politik tetap akan diakomodir," katanya.

Efektivitas Partai Buruh

Berbeda, Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyatakan buruh harus di Indonesia harus berkonsolidasi dalam partai politik untuk meningkatkan efektivitas perjuangannya.

Menurutnya, buruh hanya akan menjadi objek politik para elite bila tidak segera berkonsolidasi dalam bentuk partai politik. "Kalau enggak mau jadi objek, harus berpartai. Selama ini hanya jadi objek, di negara maju buruh harus mampu bermetamorfosa," ujar dia.


Dia pun menilai perjuangan politik yang dilakukan buruh lewat sejumlah serikat atau federasi yang ada selama ini tidak berjalan efektif karena para elitenya justru berafiliasi dengan kelompok politik tertentu.

Menurutnya, hal tersebut malah membuat serikat atau federasi buruh tersegmentasi dengan kepentingan politik tertentu.

Sehingga, Adi menyarankan agar buruh memiliki seseorang tokoh yang dapat mengonsolidasikan seluruh buruh dan menjadi pemimpin partai politik mereka.

Ia berpendapat, memiliki pemimpin sekaligus membentuk partai politik akan menghindarkan buruh dari kepentingan praktis partai politik. "Butuh leader sehingga buruh lebih diperhatikan. Kalau hanya menitip saja tidak ada jaminan apa pun, hanya kepentingan praktis saja," tuturnya.

[Gambas:Video CNN]

(mts/asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER