3. Keputusan Mengamankan Sukarno-Hatta dalam Rapat di Asrama BaperpiUtusan pemuda dari pertemuan di Eijkmann Institute untuk mendesak kembali Sukarno di rumahnya gagal pada 15 Agustus 1945 malam. Walhasil, dalam pertemuan yang telah ditetapkan di Asrama Baperpi, Jalan CIkini 71, Jakarta Pusat disepakatilah para pemuda akan menyingkirkan dahulu Sukarno-Hatta dari Jakarta. Adam Malik menuliskan pertemuan tersebut berlangsung di ruang terbuka pada bagian belakang (zaal) di Cikini 71.
'Kira-kira jam 12 Malam lewat sedikit, pertemuan itu pun dibuka oleh Chairul Saleh, tak lama kemudian utusan yang menghadap Sukarno-Hatta menyampaikan perslah pertemuan mereka,' tulis Adam Malik dalam
Riwayat Proklamasi 17 Agustus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum pertemuan mengambil putusan, datang Sukarni dan Jusuf Kunto yang ikut memberikan pandangan masing-masing. Lalu disepakati secara mufakat bahwa kemerdekaan harus diproklamasikan sendiri, tidak menunggu dari Jepang, juga untuk membawa Sukarno-Hatta menyingkir dulu keluar kota.
Kemudian, lewat diskusi kecil antara Chairul Saleh, Sukarni, J Kunto, Dr Muwardi, dan Singgih (PETA) disepakatilah untuk membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang.
 Kawasan Cikini, Jakarta Pusat saat ini. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
CNNIndonesia.com mengunjungi kembali lokasi yang menjadi titik pertemuan yang menyepakati untuk ‘menculik’ Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Berdasarkan keterangan dari Sejarawan Rushdy Hoesein, Cikini 71 itu saat ini menjadi bangunan kantor sebuah bank.
"Dulu di sana itu asrama mahasiswa di situ ada yang lebih senior, sedangkan Chairul Saleh ini kan generasi muda," kata Rushdy.
Namun, saat menuju ke lokasi yang beralamat di Jalan Cikini Raya nomor 71, Jakarta Pusat yang didapati adalah sebuah bangunan disertai halaman yang menjadi tempat berkantornya perusahaan ekspedisi logistik swasta. Saat dimintai keterangan mengenai gedung tersebut, petugas keamanan di depan gedung pun menghubungi pemilik usaha tersebut.
"Iya saya beli tanah dan bangun itu suratnya memang tertulis Jalan Cikini Raya No. 71, benar pernah [dengar] jadi tempat rapat pemuda [tahun 1945]? Enggak menyangka lho saya, enggak pernah tahu dan baru kali ini saya dengar," ujar pemilik usaha yang enggan disebutkan namanya.
"Kalau enggak salah ini dulu bukannya lahan kosong saja ya?," sambungnya.
Dikonfirmasi lagi terpisah, Rushdy menerangkan Asrama Baperpi itu letak persisnya berada di sebelah Kebun Binatang Cikini kala itu. Kebun Binatang yang sejak 1846 berada di kawasan Cikini itu telah dipindahkan ke kawasan Ragunan, Jakarta Selatan. Sementara itu lahan bekas kebun binatang itu di antaranya kini menjadi kompleks Taman Ismail Marzuki dan sebagian lagi menjadi menjadi bagian dari lahan Rumah Sakit PGI Cikini yang beralamat di Jalan Raden Saleh Raya nomor 40.
“Saat ini asrama itu jadi bank, itu di ujung, sebelum IKJ kan ada gang. Nah, itu persis di samping gang itu dulu [Asrama Baperpi],” ujar Rushdy.
IKJ atau Institut Kesenian Jakarta itu berada di dalam kompleks Taman Ismail Marzuki. Sementara itu, gang yang dimaksudkan berada di sebelahnya adalah Jalan Cikini VIII. Di sebelah jalan Cikini VIII, di seberang TIM, terdapat bangunan yang telah menjadi tempat berkantornya dua bank swasta, dan di sebelahnya lahan yang menjadi bangunan tempat berkantornya perusahaan ekspedisi.
 Sejarawan Rushdy Hoesein. (CNN Indonesia/ Gloria Safira Taylor) |
4. Rumah Persinggahan Sukarno-Hatta di Rengasdengklok
Sekitar pukul 04.00, keluarlah mobil dari Cikini 71 yang membawa Chairul Saleh, Sukarni, Kunto, dan Dr Muwardi. Sukarni dan Jusuf Kunto menjemput Hatta di rumahnya, lalu menyusul ke rumah Bung Karno. Sementara itu, Dr Muwardi langsung menuju rumah Bung Karno menunggu kedatangan Sukarni, Jusuf Kunto, Chairul Saleh, dan Bung Hatta.
Dan, mereka pun bergegas keluar kota, Rengasdengklok di Karawanglah yang dituju.
Sejarawan JJ RIzal mengatakan alasan membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, karena Sukarni dkk merasa harus di tempat yang benar-benar mereka bisa garansi keamanannya buat kedua tokoh tersebut.
Di Rengasdengklok, Sukarno-Hatta sempat diamankan dulu di tangsi PETA sebelum dipindahkan ke rumah seorang pedagang China yang berada di pinggir sungai Citarum, Djiauw Kie Siong. Djiauw Kie Siong bersedia rumahnya ditempati Sukarno dan keluarganya serta Hatta untuk sementara waktu.
"Dia siapkan apa yang penting bagi tamu ini, artinya Djiauw Kie Siong ini sudah mengosongkan rumah itu dari keluarganya. Di sana Bung Karno dan Bung Hatta tidak ada kerjaannya. Kerjaannya cuma menimang-timang si Guntur [Soekarnoputra] saja, sehingga ada ceritanya Bung Hatta tidak bisa salat karena celananya dikencingi Guntur," ujar Sejarawan Rushdy Hoesein.
Mengutip dari autobiografinya,
Untuk Negeriku, Hatta menjelaskan celanya dibasahi kencing Guntur di dekat lutut. Itulah sebabnya dia tak bisa salat karena celana yang dipakai itu telah dikencingi. Celana yang telah terbasahi kencing Guntur itu dipakainya terus hingga basahnya mengering dengan sendirinya.
‘
Aku tidak dapat bersalin celana karena sepotong pakaian pun tidak ada yang kubawa dari Jakarta,’ tulis Hatta.
CNNIndonesia.com menyambangi Rengasdengklok pada 7 Agustus lalu, di sana didapati rumah Djiau Kie Siong itu sudah tak berada lagi di pinggir aliran Sungai Citarum. Seperti dijelaskan Rushdy, rumah tersebut telah digeser dari tempat asalnya oleh sang pemilik karena banjir Citarum pada dekade 1950an.
Berdasarkan penuturan salah satu kerabat keturunan Djiauw Kie Siong, dipilihnya rumah sebagai persinggahan Sukarno dan Hatta itu atas usulan salah satu anggota keluarga tersebut yang kebetulan menjadi bagian dari PETA. Rumah tersebut dipilih karena dinilai cukup layak menampung Sukarno Hatta.
Bangunan rumah kayu dengan daun jendela yang dicat hijau itu disebutkan masih dipertahankan bentuk aslinya. Sebuah gapura dengan tulisan Rumah Sejarah terpasang di depan halaman menuju rumah tersebut. Di dalamnya dipenuhi perabotan kayu yang identik dengan masa 1940an silam. Termasuk pula dua kamar yang sempat digunakan Sukarno dan Hatta.
Di ruang tamu terpajang foto-foto dwitunggal Proklamator RI, Sukarno dan Hatta, serta Djiauw Kie Siong.
Alasan pemilihan rumah Djiauw Kie Siong untuk menampung pun pernah dipertanyakan Sukarno pada 1945 silam. Itu diungkapkan sang proklamator dalam buku
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Sukarno memeriksa rumah tersebut dan menilai tidak ada yang istimewa dari bangunan itu sehingga ia bertanya kepada seorang letnan yang mengantar mereka ke sana. Letnan itu pun menjawab pertanyaan Sukarno.
‘…”
Inilah satu-satunya rumah dekat garnisun yang cukup besar yang bisa menampung rombongan Bung Karno dan …” dengan isyarat kepalanya dia menunjuk ke arah luar. Mengikuti arah pandangnya, aku melihat belasan pemuda sedang berjaga-jaga. Semua memegang senapan dengan sangkur terhunus. Belasan pemuda yang lain berjaga di jalanan,’ ujar Bung Karno dalam biografi yang dituliskan Cindy Adams tersebut.