5. Rumah Laksamana Maeda di MentengSekembalinya Sukarno dan Hatta ke Jakarta usai Sukarni dkk berhasil diyakinkan Ahmad Subardjo pada 16 Agustus 1945 malam, mereka mencoba menghubungi kembali Hotel des Indes agar bisa menggunakan ruang untuk rapat PPKI yang batal dilaksanakan pada pagi harinya.
'
Hotel des Indes membalas bahwa lewat pukul 22.00 tidak boleh mengadakan kegiatan apa-apa lagi. Itu sudah menjadi peraturan dari dahulu. Subardjo mengusulkan, bolehkan ia coba menelepon Admiral [Laksamana] Maeda, meminta supaya ia meminjamkan ruang tengah rumahnya untuk rapat itu. Kami persilakan Subardjo menelepon dan Maeda menerima permintaan kami itu dengan segala senang hati,' tulis Hatta dalam autobiografi
Untuk Negeriku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah itu, Hatta pun meminta Subardjo menghubungi anggota-anggota PPKI yang semuanya menginap di Des Indes agar datang ke rumah Maeda pukul 24.00 untuk melanjutkan rapat. Beberapa saat kemudian, dekat pukul 22.00, Sukarno menjemput Hatta di rumahnya yang berada di jalan Syowa Dori (sekarang Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat), lalu bersama-sama menuju rumah Maeda yang berada di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.
Diceritakan Hatta setelah mereka berada di rumah Maeda, ia bersama Sukarno ditemani sang laksamana dan juru bahasanya, Miyoshi, mendatangi rumah Sumobuco, Mayjen Nishimura yang jaraknya kurang dari lima menit berkendara mobil. Dalam pertemuan tersebut, kata Hatta, Nishimura tak bisa mengizinkan pelaksanaan rapat karena Jepang dalam status quo harus mematuhi sekutu dan akan melakukan tindakan jika tetap digelar.
'Setelah hampir dua jam kami berdebat di sana dengan tiada mencapai pengertian, Sukarno dan aku mufakat lebih baik meninggalkan rumah Mayor Jenderal Nishimura dan kembali ke rumah Maeda,' tulis Hatta.
 Patung BM Diah yang menemani Sayuti Melik mengetikkan naskah proklamasi tulisan tangan Sukarno di rumah Laksamana Maeda, Menteng, Jakarta Pusat. (CNN Indonesia/Dika Dania Kardi) |
Dan, rapat perumusan naskah proklamasi pun digelar di rumah Maeda pada dini hari 17 Agustus 1945. Rumah Maeda itu masih terjaga hingga sekarang dan dijadikan museum. Penetapan rumah Maeda itu sebagai museum dilakukan lewat SK Mendikbud Nomor 0476/1992 tanggal 24 November 1992.
Pada 1945, proses perumusan, pengetikan, hingga rapat untuk proklamasi RI itu digelar di lantai dasar rumah tersebut. Setidaknya ada empat ruang yang terkait dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia di rumah tersebut yakni ruang tamu atau pertemuan, ruang makan yang menjadi tempat perumusan naskah, ruang pengetikan, dan ruang pengesahan.
Di ruang pengesahan, sebuah piano yang menjadi alas saat Sukarno dan Hatta membubuhkan tanda tangan atas nama rakyat Indonesia pun tak digeser dari posisinya di samping tangga menuju lantai atas, depan ruang Sayuti Melik mengetikkan naskah dari tulisan tangan Sukarno.
Sebagai museum, rumah Maeda terbilang sangat terawat dan terjaga sebagai tempat bersejarah bagi bangsa Indonesia.
"Tentu semua dirawat sama pengurus, karena merupakan aset yang bersejarah, kondisi bangunan juga pastinya terus dijaga dari dulu hingga sekarang,” ujar salah satu penjaga museum, Iman Nurrochman kepada
CNNIndonesia.com saat berkunjung, Kamis (8/8).
Kala itu, museum tersebut sudah hampir tutup, dimana jam bukanya adalah mulai pukul 08.00-16.00 saban harinya, kecuali Senin dan hari libur nasional yang akan ditutup.
 Tampak luar rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta pusat, yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi. (CNN Indonesia/ Aria Ananda) |
6. Rumah Sukarno di Pegangsaan 56Akhirnya rapat di rumah Laksamana Maeda berakhir dengan disepakatinya akan dibacakan Proklamasi RI secara terbuka di teras rumah Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat.
Pada dini hari 17 Agustus 1945, kabar akan dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan RI itu disampaikan para pemuda pejuang dengan sigap. Bung Karno menggambarkan setiap orang bergerak ke sana kemari, tanpa ada yang mengomandoi. Mereka menyebarkan berita melalui telepon, naik sepeda, mengetuk pintu dari rumah ke rumah atau berteriak di jalan.
Tak hanya itu, sambung Sukarno, sekelompok mahasiswa meminjam mesin stensil dari kantor-kantor Jepang tempat mereka bekerja dan begadang sepanjang malam untuk memperbanyak selebaran yang sederhana. Di pagi harinya, mereka mencuri truk kecil untuk berkeliling menempelkan selebaran di pagar, menyelipkan di jendela kereta api, dan pintu rumah-rumah.
‘
Pukul tujuh pagi, sekitar seratus orang atau lebih, berkumpul di depan jendelaku. Mereka datang berbondong-bondong membawa bambu runcing, batu, sekop, tongkat, parat atau golok, dan apa saja yang dapat mereka bawa. Pesan sudah tersebar bahwa Bung Karno akan menyatakan kemerdekaan. Kita harus melindungi Bung Karno. Petani, pedagang kelontong, nelayan, pegawai negeri, anak-anak muda dan orang tua, semua orang mengalir ke Pegangsaan Timur 56,’ ujar Sukarno dalam buku
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Proklamasi akhirnya dibacakan pukul 10.00 WIB di teras depan kediaman Bung Karno tersebut, yang lalu disambung dengan pengibaran bendera pusaka Sang Merah Putih. Bendera yang dijahit istri Sukarno, Famawati, itu dikibarkan ke atas tiang lewat kerja sama tiga orang: Suhud Sastro Kusumo, Latief Hendraningrat, dan SK Trimurti.
Mengunjungi Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat, tak dapat lagi ditemui rumah Sukarno dan teras serta halamannya yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia itu. Pada 1962, Bung Karno membongkar kediaman pribadinya tersebut
'
Rumah proklamasi dibongkar atas perintah Soekarno,' tulis Adolf Heuken dalam buku
Medan Merdeka-Jantung Ibukota RI (2008).
 Kawasan tugu proklamasi, Jakarta Pusat. Dahulu, tugu proklamasi yang merupakan bagian dari rumah Sukarno menjadi tempat dibacakannya proklamasi RI pada 17 Agustus 1945. (CNN Indonesia/ Aria Ananda) |
Sejarawan JJ Rizal mengatakan Rumah Bung Karno dihancurkan sendiri saat ia berkuasa dengan alasan melawan kecenderungan feodalisme, dan Indonesia harus dipimpin ide.
"Jadi rumahnya dijadikan gedung pola, pola itu rencana, rencana itu basisnya ide. Itu bung karno sendri yang menghancurkan," kata Rizal saat disambangi, Sabtu (10/8).
Secara terpisah, Sejarawan Rushdy Hoesein menolak menduga alasan pembongkaran rumah tersebut dan menilai hanya Bung Karno yang tahu maksudnya.
Kini, di lokasi itu berdiri Monumen proklamasi yang dikelilingi Taman Proklamator. Sementara itu, jalan di depannya berubah nama jadi Jalan Proklamasi. Selain itu, dibangun pula di sana bangunan yang bernama Gedung Proklamasi, kini Gedung Perintis Kemerdekaan yang beralamat Jalan Proklamasi nomor 56.
Di kawasan monumen proklamasi atau tugu proklamasi berdiri patung Bung Karno dan Bung Hatta serta Naskah Proklamasi di antara keduanya. Juga terdapat tugu petir, dan tugu perempuan. Tugu perempuan itu adalah monumen peringatan satu tahun kemerdekaan Republik Indonesia dari kaum wanita.
Saat
CNNIndonesia.com berkunjung pekan lalu, kawasan tersebut sedang dipercantik dan dirawat untuk memperingati hari peringatan Proklamasi, 17 Agustus 2019.
Seluruh masyarakat dapat mengakses Tugu tersebut, karena memang dibuka secara gratis dan umum hingga jam 21.00 WIB. Monumen tersebut kini terus dijaga oleh tim penjaga kompleks tugu proklamasi, serta beberapa komunitas, dan warga.
"Sering juga ada warga yang datang untuk ngumpulin sampah, bantu bersih - bersih," ujar Wahidin, salah satu penjaga di sana pada 8 Agustus lalu.
 Tugu petir di kawasan Taman Proklamasi, Jakarta Pusat.(CNN Indonesia/ Aria Ananda) |
Rusdy Hoesein mengatakan para pemerhati sejarah di Indonesia berharap rumah yang telah dibongkar Sukarno pada 1964 itu bisa dibangun kembali. Saat ini, sambungnya, warga masih bisa menemukan fondasi rumah tersebut. Namun, tak ada presiden RI yang selama ini menyetujui pembangunan kembali rumah itu, termasuk pula Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri yang merupakan anak kandung sang proklamator.
"Rumah itu tetap sebagai kenangan. Habis Pak Harto, Habibie enggak setuju, Gus Dur enggak setuju, Megawati enggak setuju, dan SBY timbang-timbang akhirnya tidak setuju, Jokowi pun tidak setuju," ujar Rusdy seraya mengaku tak tahu alasan dari ketidaksetujuan tersebut, Senin (12/8).
"Mereka lebih setuju merayakan kemerdekaan di istana kolonial. Istana Merdeka itu kan istana kolonial. Masak kita mesti mewarisi nilainya kolonialisme, ketika orang menghormati rumahnya. Proklamasi dirayakan mestinya secara tetap di situ [rumah Bung Karno] setiap tahun, siapa yang ingat? enggak ada yang ingat. mungkin pertanda bahwasanya kita sudah lupa kepada peristiwa sejarah," sambungnya.
(ara, gst, agr/kid)