Jakarta, CNN Indonesia -- Ikatan Dokter Indonesia (
IDI) menegaskan menolak menjadi eksekutor hukuman
kebiri kimia terhadap terpidana kejahatan kekerasan seksual. Penerapan perdana kebiri dimungkinkan diberlakukan kepada terpidana pemerkosaan 9 anak di Mojokerto, Muh Aris bin Syukur.
Ketua Umum IDI, Daeng M Faqih mengungkapkan persoalan itu sebenarnya sudah selesai saat pembahasan mengenai Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Komisi IX DPR RI.
"Memang waktu bikin rancangan itu, dokter dan tenaga kesehatan lain diminta untuk menjadi eksekutor, kita waktu itu menolak dengan dua alasan," ujar Daeng saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (27/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan bahwa kebiri kimia merupakan bentuk hukuman, bukan pelayanan medis. Sehingga, menurut dia, hal itu tidak berkaitan dengan tugas dokter dan tenaga kesehatan.
"Karena itu (menjadi eksekutor) di aturan pelayanan medis memang tidak membolehkan," kata dia.
Selain itu, Daeng menyebut jika dokter menjadi eksekutor kebiri kimia maka berpotensi menimbulkan konflik norma, yakni etika kedokteran. Daeng menjelaskan, perintah organisasi kesehatan dunia (WHO), dan undang-undang kesehatan melarang tindakan kebiri kimia tersebut.
Daeng enggan menjawab ketika ditanya lebih dalam soal pandangan IDI terhadap hukuman kebiri kimia. Ia hanya berujar kalau pihaknya senantiasa menjalankan perintah sesuai dengan apa yang sudah menjadi hukum positif.
"Cuma eksekutor bukan dokter dan tenaga kesehatan, itu saja. Sudah selesai dengan waktu perpanjangan ini bahwa memang nanti akan ditunjuk eksekutor sendiri oleh kejaksaan," kata dia.
Sebelumnya, terpidana kasus pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Muh Aris bin Syukur dijatuhi hukuman kebiri kimia oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto. Putusan hakim diperkuat di tingkat banding Pengadilan Tinggi Surabaya, 18 Juli 2019.
Aris dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana dengan melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan. Ia juga dijatuhi pidana penjara 12 tahun dan denda Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pidana kebiri kimia kepada terdakwa," seperti dikutip dari amar putusan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Mojokerto, Jumat (23/8).
Putusan tersebut diketahui lebih ringan dari tuntutan jaksa 17 tahun penjara. Hanya saja hukuman kebiri merupakan tambahan dari majelis hakim. Aris dianggap melanggar Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat (2) Perppu 1/2016 tentang perubahan kedua UU RI 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam putusan, hakim menyatakan aksi Aris diperkuat barang bukti berupa satu stel baju seragam sekolah warna hijau dan kuning beserta kerudung warna kuning, satu potong celana dalam warna merah muda terdapat bercak darah, dan satu potong kaus dalam warna hijau.
Aris diketahui telah memerkosa sembilan orang anak sejak 2015 di Mojokerto. Namun polisi baru berhasil meringkus Aris pada Oktober 2018 setelah aksinya terekam di kamera pengawas CCTV.
[Gambas:Video CNN] (ryn/ain)