Jakarta, CNN Indonesia -- Adolfina tak menyangka tawaran berunding dengan polisi dibalas aksi penangkapan. Hari itu Rabu, 21 Agustus 2019 dirinya digelandang polisi di tengah memimpin unjuk rasa di
Timika, Mimika,
Papua. Aktivis perempuan asli Timika bersama 600 orang lebih memprotes insiden dugaan rasialisme yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur.
Tuntutan massa aksi rencananya dibacakan di depan Kantor DPRD Mimika, Papua. Hanya saja polisi tak mengizinkan. Massa diminta cukup berkumpul di Lapangan Timika Indah. Adolfina pun mencoba bernegosiasi dengan Kapolres Mimika AKBP Agung Marlianto agar aksi tetap boleh dilakukan di depan DPRD.
"Saya maju. Lalu Kapolres bilang, ibu begini massa ini diarahkan ke Lapangan Timika Indah. Saya bilang, Bapak massa aksi 500 orang lebih ini mau
long march ke kantor DPRD. Bukan di sini, Bapak," ujar Adolfina menceritakan momen itu kepada
CNNIndonesia.com, Jakarta, Senin (9/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, dengan dalih keamanan, polisi menolak permintaan massa tersebut.
"Kamu menjamin akan aman dengan massa begini?" tanya Kapolres Mimika seperti ditirukan Adolfina.
Menurut Adolfina, saat perundingan itu berlangsung dirinya menyaksikan kendaraan-kendaraan taktis aparat tengah mengadang jalan.
Ia pun lantas meminta polisi untuk membiarkan massa melanjutkan aksi ke kantor DPRD, namun sekali lagi permintaan itu ditolak. Massa dilarang bergerak dan diminta cukup menyuarakan tuntutan di Lapangan Timika Indah.
"Saya lalu koordinasi dengan teman-teman, tapi rakyat tetap bilang: di sini [Lapangan Timika Indah] siapa yang mau dengar? Lalu rakyat tetap ingin harus ke kantor DPRD. Saya sampaikan ke polisi: kami harus ke DPRD. Bapak, tolonglah hargai kami," pinta Adolfina kepada Kapolres.
"Kamu melawan?"
"Tidak, Bapak. Saya sedang bernegosiasi dengan Bapak," jawab Adolfina kala itu.
"Nama kamu siapa?" tanya sang kapolres.
"Adolfina."
"'Tangkap dia,' perintah kapolres. Itu saja yang saya dengar," aku Adolfina.
Jaminan aksi akan berlangsung damai dari Adolfina tak digubris polisi. Setelah itu enam orang menggotong Adolfina dan memasukkannya ke mobil polisi.
Dia mengaku jengkel diperlakukan seperti itu. Menurut dia, polisi menggunakan cara-cara yang justru mencoreng profesionalisme aparat saat mengamankannya.
"Makanya teman saya bilang, saya diculik. Ada enam orang datang, kaki saya sebelah sebelah dibawa sendiri. Kepala sendiri [dipegang]. Tangan, tangan ini sebelah-sebelah dipegang sendiri-sendiri. Mereka lalu buang saya. Karena itu saya kesal. Kan bisa ditangkap baik-baik, tidak dengan cara-cara begini," ujar Adolfina.
![[HOLD] Cerita Eks Korlap Demo di Timika Saat Diamankan Polisi](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/08/21/8b41afb9-fe7a-4840-8df8-fd5ac10555db_169.jpeg?w=620) Warga melakukan konvoi kendaraan saat aksi antirasialisme di Timika, Mimika, Papua, 21 Agustus 2019. (ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding) |
Di mobil, dua pertanyaan dilontarkan padanya yaitu asal suku dan asal daerah, serta nama lengkap. Selain itu Noken--tas khas Papua--yang ia bawa pun turut digeledah.
Ia mengaku disekap selama 25 menit di salah satu ruangan di Kantor Polres Mimika. Adolfina lantas dibebaskan sekitar pukul 10.00 WIT hari itu juga atau pada 21 Agustus 2019 karena massa enggan bergerak tanpa komando Adolfina.
Setelah Adolfina dibebaskan, massa aksi melanjutkan berjalan sekitar satu jam dari Lapangan Timika Indah ke Kantor DPRD Mimika.
"Masyarakat di sana minta Bupati dan DPRD hadir. Lalu saya minta ke Kapolres untuk menjemput paksa Bupati, nah pada saat itu sudah terjadi lempar-lemparan botol minuman, batu, jadi situasi pecah dan yang saya dengar ada penembakan, baku kejar," ujar Adolfina mencoba mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi.
Rusuh pun pecah di Timika. Massa aksi urung menyampaikan sejumlah tuntutannya. Kata dia, sekitar pukul 13.30 peserta aksi lantas bergerak di luar kendali.
Adolfina mengaku tak mengerti pasti apa pemicu ricuh. Namun ia menduga ada sejumlah orang yang memprovokasi massa sehingga rusuh tak terelakkan.
"Ada yang meminta untuk membakar kantor Polres Mimika. Tapi kami tidak lakukan," kata salah satu warga Timika, Oscar yang saat itu juga ada di tengah aksi.
CNNIndonesia.com mencoba mengonfirmasi perihal apa yang dialami Adolfina itu kepada Kapolres Mimika AKBP Agung Marlianto.
"Masalah Adolfina, itu jelas
hoax, enggak benar itu. Bahkan kalau dia mengaku korlap, harusnya sudah diproses hukum karena aksi tersebut berujung anarkis," demikian jawaban Agung lewat aplikasi pesan ponsel, Selasa (10/9).
![[HOLD] Cerita Eks Korlap Demo di Timika Saat Diamankan Polisi](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2019/08/21/a6d5425b-d280-485e-8d06-9c8447111997_169.jpeg?w=620) Petugas kepolisian membantu evakuasi seorang warga saat melakukan penjagaan aksi di Mimika, Papua, 21 Agustus 2019. (ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding) |
Sementara itu, terkait kericuhan di Timika pada 21 Agustus lalu, Polres Mimika dibantu TNI mengamankan 45 orang pelaku kericuhan dalam unjuk rasa di halaman gedung DPRD Mimika. Kala itu, sebanyak 34 orang ditetapkan sebagai tersangka, dan 13 di antaranya disebut sebagai pendukung kemerdekaan Papua.
Secara keseluruhan, dalam rilis yang dilakukan kemarin Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan polisi telah menetapkan total 85 tersangka dalam peristiwa gelombang unjuk rasa berujung kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Sebanyak 55 tersangka di Papua dan 30 tersangka di Papua Barat. Dedi mengatakan ada penambahan tersangka di dua wilayah itu.
"Untuk yang di Jayapura jumlah tersangka 31 orang. Kemarin kan 28 orang. Kemudian Timika masih tetap 10 [orang], kemudian untuk Kabupaten Deiyai 14 orang," kata Dedi di Mabes Polri.
Sedangkan di Papua Barat terjadi penambahan yakni 15 tersangka di Manokwari, 11 orang tersangka dan 11 orang daftar pencarian orang (DPO) di Sorong. Setelah itu ada 3 tersangka dan 8 DPO di Fakfak.
"Untuk Teluk Bintuni 1 tersangka, total untuk Papua Barat ada 30 tersangka," ujarnya.
Dedi lebih lanjut menjelaskan mereka yang masuk dalam DPO adalah bagian dari massa yang turut melakukan kerusuhan.
Dari 85 tersangka itu polisi menetapkan FK atau FBK tersangka dengan dugaan berperan sebagai aktor intelektual kerusuhan. Kemudian, polisi juga menetapkan AG tersangka dengan dugaan aktor lapangan.
[Gambas:Video CNN]
Secara terpisah, lewat rilis yang diterima
CNNIndonesia.com, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay meragukan tindakan Aparat Penegak Hukum Polda Papua dalam menindak massa aksi antirasialisme di sejumlah kota di Papua.
Menurutnya, petugas di Polda Papua telah bertindak sewenang-wenang dalam menangani kasus dan tidak mengimplementasikan hak konstutisional tersangka sebagaimana termuat dalam pasal 55 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
"Penyidik Polda Papua mengambil inisiatif sendiri untuk menunjuk Penasihat Hukum tanpa menanyakan atau memberi ruang kepada tersangka untuk memiliki Penasihat hukum sendiri sebagaimana dialami oleh 28 orang yang ditangkap diamankan di Polda Papua," ujar Emanuel dalam siaran pers, Senin (9/9).
Menurutnya, tersangka memiliki hak untuk memilih dan menunjuk Penasihat Hukum sendiri. Ia juga mengatakan beberapa dari keluarga tersangka bermaksud menunjuk penasihat hukum sendiri.
Berdasarkan pantauan LBH Papua sejak 19 Agustus sampai 6 September 2019, sejumlah penangkapan serta penahanan masa aksi anti rasialisme telah terjadi dibeberapa kota. Salah satunya di Jayapura dengan kasus penangkapan masa terbanyak dengan total 35 orang (30 orang massa aksi dan 5 orang dari masyarakat nonpapua).
Sementara itu di beberapa kota lainnya yakni Timika ada 8 orang, Deiyai 16 orang, Manokwari 18 orang, Sorong 14 orang, dan Jakarta 6 orang.
LBH Papua menegaskan pada beberapa penegak hukum yang dianggap otoriter, seperti pihak Kapolri, Pimpinan Propamnas, Pimpinan Komisi Kepolisian RI, serta Ombudsmen RI untuk lebih bersikap sesuai dengan hukum yang berlaku dalam menindak masa aksi antirasialsme Papua.
Sementara itu dikutip dari
Antara, tokoh agama Kristen di Papua, Jhon Baransano meminta negara memberi rasa adil dengan menegakkan hukum positif terkait rasialisme.
Menurut Jhon, penegakan hukum secara transparan dan terbuka itu bisa membantu menumbuhkan kesadaran dan meredam emosi di tengah masyarakat Papua.
Ia menilai, negara terkesan lamban menangani masalah ini, sehingga beberapa kota di Papua terjadi gejolak dan muncul kemarahan masyarakat.
"Rasisme itu ditentang di seluruh dunia, bahkan kita tahu bersama bahwa negara telah membuat undang-undang tentang rasisme itu, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 (Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Red)," kata Jhon di Jayapura, Selasa (10/9).
"Ini yang sebenarnya orang Papua minta ada penegakan hukum itu, sebenarnya tidak ada eskalasi konflik yang besar kalau saat itu negara langsung menyelesaikan masalah ini," sambungnya.
Jhon mengatakan, jika negara menyelesaikan secara cepat maka eskalasinya tidak meluas. Presiden Joko Widodo tidak hanya sampaikan kata 'maaf', tetapi diselesaikan secara hukum.
Menurutnya, karena negara ini adalah negara hukum, sehingga eskalasi tidak bisa melebar kalau Presiden tidak menganggap hal itu biasa, tetapi harus diselesaikan secara hukum.
Unjuk rasa yang beberapa tempat di Papua dan Papua Barat berujung ricuh dipicu dugaan aksi rasialisme saat pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16-17 Agustus lalu.
Terkait kasus rasialisme itu, Polda Jatim telah menetapkan Tri Susanti alias Susi selaku koordinator lapangan aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Selain itu, seorang ASN di lingkungan Pemkot Surabaya, SA, pun ditetapkan tersangka karena dugaan teriakan rasialisme.
Bukan hanya itu, Polda Jatim pun menetapkan pengacara HAM Veronica Koman yang kerap mendampingi aktivis Papua sebagai tersangka provokasi terkait aksi di di Asrama Mahasiswa Papua.
[Gambas:Video CNN]