Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota DPR Fraksi PDI-Perjuangan
Arteria Dahlan menyebut Komisi Pemberantas Korupsi (
KPK) sebagai lembaga yang tidak terlalu hebat terlepas dari banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan.
Arteria mengatakan lembaga negara yang disebut dalam konstitusi baik di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki peran penting. Menurutnya KPK tidak termasuk dalam kategori itu.
"Makanya secara kelas saja, KPK ini di mana. Yang disebutkan semua yang kata KPK (institusi) tidak benar semua," kata Arteria dalam sebuah diskusi mengenai sepak terjang KPK di Jakarta, Jumat (11/10).
Status kelembagaan KPK sempat menjadi polemik saat DPR membentuk pansus angket KPK beberapa tahun lalu. Publik memperdebatkan apakah KPK bagian dari eksekutif atau legislatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, Pasal 3 UU KPK berbunyi, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Arteria mengatakan setiap institusi yang tercantum dalam konstitusi kerapkali mendapat tudingan dari komisi antirasuah sebagai lembaga yang tidak benar dan penuh dengan korupsi.
Dia pun dengan tegas mempertanyakan kinerja KPK yang kerap melakukan OTT.
"Tanpa disadari ini serangan langsung kepada konstitusi kita," imbuh dia.
"Penting mu apa, ternyata KPK lahir tahun 2002, tahun itu perubahan terakhir amandemen konstitusi yang keempat," tambahnya.
[Gambas:Video CNN]Ia menegaskan bahwa KPK dapat merasa hebat apabila institusi tersebut dicantumkan dalam konstitusi Indonesia.
"Karena lagi saat perubahan UUD itu, nah dari situ saja seharusnya sasar diri, sadar posisi. Enggak hebat-hebat banget (KPK)," tegasnya.
Arteria belakangan menjadi sorotan publik setelah berdebat dengan Emil Salim dalam Program Mata Najwa beberapa waktu lalu.
Dalam program tersebut Arteria selaku perwakilan parlemen berkukuh bahwa revisi UU KPK merupakan produk legislatif yang disusun sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku.
Dia menyesalkan desakan publik yang meminta agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu KPK untuk menganulir atau menunda aturan yang telah disahkan parlemen.
(mjo/gil)