Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pemberian fasilitas atau perizinan ke luar lembaga pemasyarakatan Klas I Sukamiskin.
Kelima orang itu ialah Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin sejak Maret 2018, Wahid Husein Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin sejak 2016-Maret 2018, Deddy Handoko Direktur Utama PT Glori Karsa Abadi (PT GKA), Rahadian Azhar warga binaan, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Warga binaan atas nama Fuad Amin.
Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan perkara operasi tangkap tangan pada 20-21 Juli 2018. Saat itu, Tim Penindakan KPK mengamankan 6 orang dan menyita satu unit mobil Mitsubishi Trion Exceed hitam, satu unit mobil Mitsubihi Pajero Sport Dakkar hitam, serta uang sebesar Rp280 juta dan USD1.410.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah munculnya sejumlah fakta baru tentang dugaan keterlibatan pihak lain, KPK membuka penyelidikan baru hingga ditemukan bukti permulaan yang cukup dan meningkatkan perkara ke Penyidikan kasus tindak pidana korupsi pemberian dan penerimaan hadiah atau janji terkait pemberian fasilitas atau perizinan keluar Lapas Klas I Sukamiskin," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (16/10) malam.
"Dalam penyidikan tersebut sekaligus ditetapkan lima orang tersangka," sambungnya.
Basaria pun menjelaskan detail perkara. Teruntuk Wawan, ia dijatuhi hukuman pidana 7 tahun penjara terkait perkara suap penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2013 di Mahkamah Konstitusi.
Di Lapas Sukamiskin, Wawan memiliki pendamping yang bertugas mengurus segala keperluannya, seperti izin berobat ke luar lapas sampai membantu komunikasi dan negosiasi dengan pihak dalam dan luar lapas.
Basaria mengungkapkan bahwa Wawan mengenal Wahid Husein dan Deddy Handoko. Pada periode 26 September 2016 - 14 Maret 2018, Wawan diduga telah memberi Mobil Toyota Kijang Innova Putih Reborn G Luxury dengan nomor polisi D101CAT kepada Deddy. Selain itu, selama periode 14 Maret 2018 - 21 Juli 2018, Wawan diduga juga telah memberikan uang Rp75 juta kepada Wahid Husein.
"Pemberian-pemberian tersebut diduga memiliki maksud untuk mendapatkan kemudahan izin keluar Lapas dari DHA [Deddy] dan WH [Wahid] saat menjadi Kalapas Sukamiskin. Izin yang berusaha didapatkan adalah izin berobat ke luar lapas maupun izin luar biasa," ungkap Basaria.
Sebagai Kalapas, Wahid Husein memiliki kewenangan mengeluarkan izin tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Sekitar Maret 2018, Wahid mulai mengenal seorang warga binaan yang kemudian dia panggil ke ruangannya sebulan kemudian. Dalam pertemuan itu, jelas Basaria, Wahid menanyakan tentang ketersediaan mobil jeep yang dimiliki warga binaan tersebut untuk dipakai olehnya.
"Warga binaan tersebut kemudian mengatakan WH [Wahid] bisa menggunakan mobil jeep miliknya," tutur Basaria.
Sepekan kemudian, mobil tersebut diantar ke Lapas Sukamiskin beserta BPKB-nya dan sejak saat itu Wahid menggunakan mobil tersebut sebagai kendaraan sehari-hari.
Kemudian pada awal Mei 2018, Wahid memerintahkan untuk melakukan proses balik nama mobil tersebut dari yang semula atas nama salah satu warga binaan di Lapas Sukamiskin menjadi nama salah satu pembantu di rumah mertuanya.
Dua bulan kemudian atau sekitar Juli 2018, proses balik nama atas mobil Toyota Landcruiser Hardtop warna hitam telah selesai. Meski mobil tersebut bukan atas nama Wahid, hingga saat itu mobil tersebut masih dalam penguasaannya.
Selain itu, Wahid Husein juga meminta Mitsubishi Pajero Sport Hitam dari Rahadian Azhar. Rahadian merupakan Direktur Utama PT GKA dan PT FBS yang telah bermitra dengan Lapas Sukamiskin Bandung.
"WH [Wahid] tidak melaporkan penerimaan gratifikasi berupa dua unit mobil dalam jangka waktu 30 hari kerja kepada KPK sebagaimana ketentuan Pasal 12 C UU Tindak Pidana Korupsi," pungkas Basaria.
Sementara itu terkait dengan tersangka Fuad Amin, KPK tidak melanjutkan proses hukum karena yang bersangkutan meninggal dunia saat penyidikan sedang berjalan, sekitar bulan September 2019.
Tindakan itu mengacu kepada Pasal 77 KUHP yang mengatur bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia. Meskipun Pasal 77 KUHP tersebut mengatur di tahapan Penuntutan, penyidikan untuk tersangka Fuad Amin tidak dapat diteruskan.
Basaria menjelaskan bahwa penuntutan merupakan langkah selanjutnya dari proses penyidikan.
Selain itu, ketentuan Pasal 33 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat diterapkan karena kasus ini adalah perkara suap. Sehingga, tidak membuktikan ada atau tidaknya unsur kerugian keuangan negara.
"Sehingga dalam penyidikan ini, KPK akan fokus menangani perkara yang melibatkan empat tersangka lainnya," tuturnya.
Atas perbuatannya, Wahid dan Deddy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Untuk tersangka Wawan dan Fuad Amin disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Rahadian Azhar disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(ryn/age)