Jakarta, CNN Indonesia -- Keuntungan dari praktik ilegal yang dilakukan oleh dokter asal
China berinisial LS di Klinik Cahaya Mentari,
Tanjung Priok, Jakarta Utara mencapai miliaran rupiah. Hasil pemeriksaan kepolisian menyebut LS meraup sekitar Rp1 miliar selama tiga bulan beroperasi.
"Keuntungan ini hitung kasar saya ya selama tiga bulan hampir Rp1 miliar keuntungannya, tapi masih kita dalami lagi," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (23/1).
Keuntungan itu berasal dari tarif pengobatan penyakit sinus tanpa operasi sebesar Rp10 juta untuk sekali pengobatan. Dalam satu hari, klinik tersebut bisa menerima pasien hingga 10 orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya biaya pengobatan, klinik tersebut juga mematok biaya obat yang cukup mahal. Obat-obatan yang digunakan di klinik tersebut diketahui berasal dari China dan belum terdaftar di BPOM.
"Biaya obat mahal, bervariasi antara Rp7 hingga Rp15 juta," ujar Kepala unit 4 subdit 3 Reskrimsus Pola Metro Jaya Kompol Imran Gultom.
Di sisi lain, Imran menuturkan selama ini masyarakat tergiur untuk berobat di klinik tersebut lantaran pengobatannya dilakukan oleh dokter asing.
Imran menyebut masyarakat beranggapan dokter asing lebih berpengalaman sehingga akhirnya tertarik untuk berobat.
"Masyarakat ke sana karena dokter asing, mereka lebih yakin," ucap Imran.
[Gambas:Video CNN]Tak hanya itu, lanjut Imran, penawaran pengobatan sinus tanpa operasi juga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat meski harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal.
Lebih lanjut Imran menerangkan, saat ini pihaknya tengah menyelidiki apakah ada pasien atau korban yang mengalami efek samping usai berobat di klinik tersebut.
"Nanti kita tanya-tanya sama pasiennya dari data di klinik," katanya.
Sebelumnya, polisi meringkus dokter asal China berinisial LS lantaran melakukan praktik kedokteran tanpa izin. Selain LS, polisi juga turut menangkap pemilik klinik Cahaya Mentari berinisial A.
LS diketahui masuk ke Indonesia menggunakan visa wisata selama tiga bulan. Namun, berdasarkan pengakuan LS, yang bersangkutan telah berada di Indonesia selama sembilan bulan.
LS juga diketahui tak bisa berbahasa Indonesia. Karenanya, LS selalu menggunakan jasa penerjemah bahasa untuk berkomunikasi dengan pasien.
(dis/osc)