Jakarta, CNN Indonesia --
Anies Baswedan sudah lebih dari dua tahun menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun di masa kepemimpinannya, Anies menuai banyak kritik karena program pengelolaan ibu kota yang dilakukannya.
Terbaru revitalisasi kawasan Monumen Nasional (Monas) yang dikritik banyak pihak, termasuk Istana sehingga membuat revitalisasi dihentikan sementara.
Saat pertama kali memimpin DKI Jakarta, bersama Wakil Gubernur Sandiaga Uno kala itu, gebrakan pertama Anies adalah menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Anies mencabut izin untuk reklamasi 13 pulau di pesisir utara Ibu Kota. Sementara empat pulau buatan yang sudah jadi, yaitu Pulau C, D, G, dan N digunakan buat kepentingan warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pencabutan izin yang dilakukan Anies tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1409 tahun 2018 tertanggal 6 September 2018.
Langkah Anies itu mendapatkan perlawanan hukum dari para pengembang. Setidaknya empat pengembang reklamasi menggugat keputusan Anies ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Dua dari gugatan itu dikabulkan oleh PTUN, yakni gugatan oleh PT Taman Harapan Indah untuk Pulau H dan gugatan oleh PT Agung Dinamika Perkasa untuk Pulau F. Meskipun demikian, Anies telah mengajukan banding atas dua putusan itu.
Penghentian reklamasi oleh Anies tersebut jadi salah satu janji kampanye di Pilgub DKI 2017.
Kritik kembali menimpa Anies ketika pertengahan 2019 lalu eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu justru menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi bangunan yang sudah terlanjur dibangun di pulau reklamasi. Bahkan Anies mengakui, dirinya mengeluarkan 1.000 IMB.
Program Anies lain yang mendapat kritik adalah proyek pelebaran trotoar dan pembuatan jalur sepeda. Anies mengklaim pelebaran trotoar tersebut akan mengurangi kemacetan di kemudian hari.
Sejumlah pihak, termasuk DPRD DKI Jakarta mengatakan kemacetan justru semakin menjadi ketika pelebaran trotoar mengambil lahan jalan utama. Faktor kedua yang banyak diprotes DPRD DKI ialah soal anggaran pembangunan trotoar yang mencapai Rp1,2 triliun.
Belum lagi pembangunan trotoar ini turut mengorbankan puluhan pohon di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Naturalisasi Hingga Revitalisasi MonasProgram Anies lainnya yang mendapat kritikan tajam adalah naturalisasi sungai. Program itu kembali mencuat dan jadi pembahasan ketika terjadi banjir di sejumlah wilayah Jakarta pada awal 2020.
Anies mengklaim program naturalisasi yang dia cetuskan saat kampenye Pilgub DKI 2017 lalu itu telah berjalan. Bahkan hasil naturalisasi ini bisa dirasakan warga Jakarta ketika akhir 2019.
"Naturalisasi kami jalankan. Bahkan 2019 nanti kita sudah lihat, jadi hasilnya akhir tahun ini insyallah udah selesai," kata Anies pada medio Mei 2019.
Namun, faktanya banjir masih menggenangi sejumlah wilayah Jakarta. Bahkan banjir terparah terjadi di hari pertama tahun 2020.
Diketahui naturalisasi gagasan Anies ini berbeda dengan program normalisasi yang dijalankan pendahulunya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Perbedaan mendasarnya, naturalisasi tak melakukan pembetonan seperti normalisasi.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono sempat menyinggung normalisasi yang terhenti di era Anies. Sebab normalisasi belum sepenuhnya dilakukan di Sungai Ciliwung.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri tak masalah dengan pelaksanaan normalisasi atau naturalisasi dalam mengantisipasi banjir di Jakarta dan sekitarnya. Bagi Jokowi yang terpenting adalah mengerjakan pelebaran semua sungai.
"Teknisnya mau pakai normalisasi, naturalisasi, silakan, tapi lebarkan semua sungai. Yang penting segera dikerjakan di lapangan," ujar Jokowi.
[Gambas:Video CNN]
Setelah masalah normalisasi-naturalisasi mereda, terbaru Anies 'tersandung' proyek revitalisasi kawasan Monumen Nasional (Monas). Revitalisasi dikritik lantaran menebang 190 pohon di kawasan Monas. Selain itu, proyek tersebut juga belum mengantongi izin dari Komisi Pengarah yang dipimpin Menteri Sekretaris Negara. Proyek kini disetop sementara.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan Anies memang terkesan tergopoh-gopoh dalam memimpin DKI Jakarta.
Ada beberapa faktor penyebab. Pertama menurut Wasisto, sejak awal diusung Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera di Pilkada DKI Jakarta, Anies dan Sandi tidak difavoritkan. Elektabilitas keduanya semula kalah dari Ahok yang berpasangan dengan Djarot.
Namun kemudian Anies-Sandi bisa jadi pemenang meski menurut Wasisto Anies hanya ditempatkan sebagai kontestan elektoral dadakan yang tujuannya hanya mereduksi popularitas Ahok ketika itu.
"Karena sejak awal lebih kuat unsur politik praktisnya, maka yang terjadi Anies juga 'kaget' ketika menang dan terpilih jadi gubernur," kata Wasisto kepada
CNNIndonesia.com.
Wasisto menilai Anies juga bukan tipikal pemimpin pengambil risiko, namun lebih pada seorang yang hanya punya ide atau gagasan. Ia menyebut Anies terkadang antimainstream, yang tak sesuai dengan kondisi lapangan.
"Karena itulah ketika beliau ini ditempatkan arena pembuatan kebijakan publik sangat terlihat beliau ini seakan tergopoh-gopoh untuk realisasi ide," ujarnya.
Faktor lain menurut Wasisto adalah Anies seperti memiliki sindrom inferior ketika dibandingkan dengan Ahok yang dianggap banyak pihak 'berhasil' saat masih jadi Gubernur DKI Jakarta. Sindrom inferior itu terlihat dari Anies yang kerap terbentur sana sini dan gagap dalam lobi-lobi sehingga dia sulit untuk mengeksekusi kebijakan maupun programnya.
"Dalam konteks ini Anies seperti limbung untuk eksekusi kebijakan dan negosiasi dengan para pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal kebijakan," kata Wasisto menambahkan.
Hal ini semakin diperburuk dengan kondisi Anies tak punya partai. Anies bukan kader Gerindra dan PKS yang mengusungnya di Pilkada. Meski selama ini Gerindra dan PKS kerap membela Anies, dua parpol tersebut dianggap bukan sebagai penyokong utama. Kursi dua parpol ini juga bila digabungkan bukan mayoritas di DPRD.
Jumlah gabungan kursi Gerindra dan PKS sebanyak 35 dari 106 kursi di DPRD.
[Gambas:Video CNN]
Tanpa wakil gubernur DKI sejak Sandi mundur karena mengikuti Pilpres 2019 pun turut mempengaruhi kinerja Anies. Setidaknya sudah setahun lebih Anies 'menjomlo' dalam memimpin Ibu Kota.
"Ketika masih ada Sandiaga, progam-program kampanye Anies sempat jalan. Namun ketika Sandiaga sibuk urusan pilpres dan berhenti jadi wagub, Anies sepertinya 'kedodoran' dalam kinerjanya," tuturnya.
Sementara Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin berpendapat Anies perlu membuka komunikasi dengan partai politik pemilik kursi di DPRD DKI.
Komunikasi itu penting dilakukan Anies agar program kerja yang direncanakan bisa diterima dan akhirnya dapat dieksekusi.
"Karena hanya dengan itulah, kebijakan-kebijakan Anies akan mudah diterima dan agar tak disalahkan terus oleh DPRD," kata Ujang kepada
CNNIndonesia.comUjang menyebut banyak orang partai yang tak suka dengan Anies dan tak sedikit pula yang ingin menjatuhkannya. Terlebih Anies disebut-sebut sebagai calon presiden potensial pada 2024 mendatang.
"Jadi sedikit saja Anies melakukan kesalahan dalam mengeluarkan kebijakan, maka akan langsung diserang," ujarnya.
"Itu salah satu kekurangan orang nonpartai dan dianggap capres potensial di 2024. Jadi sebelum melaju harus dibusuki dulu oleh lawan-lawan politiknya," kata Ujang.