Pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan Anies memang terkesan tergopoh-gopoh dalam memimpin DKI Jakarta.
Ada beberapa faktor penyebab. Pertama menurut Wasisto, sejak awal diusung Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera di Pilkada DKI Jakarta, Anies dan Sandi tidak difavoritkan. Elektabilitas keduanya semula kalah dari Ahok yang berpasangan dengan Djarot.
Namun kemudian Anies-Sandi bisa jadi pemenang meski menurut Wasisto Anies hanya ditempatkan sebagai kontestan elektoral dadakan yang tujuannya hanya mereduksi popularitas Ahok ketika itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena sejak awal lebih kuat unsur politik praktisnya, maka yang terjadi Anies juga 'kaget' ketika menang dan terpilih jadi gubernur," kata Wasisto kepada
CNNIndonesia.com.
Wasisto menilai Anies juga bukan tipikal pemimpin pengambil risiko, namun lebih pada seorang yang hanya punya ide atau gagasan. Ia menyebut Anies terkadang antimainstream, yang tak sesuai dengan kondisi lapangan.
"Karena itulah ketika beliau ini ditempatkan arena pembuatan kebijakan publik sangat terlihat beliau ini seakan tergopoh-gopoh untuk realisasi ide," ujarnya.
Faktor lain menurut Wasisto adalah Anies seperti memiliki sindrom inferior ketika dibandingkan dengan Ahok yang dianggap banyak pihak 'berhasil' saat masih jadi Gubernur DKI Jakarta. Sindrom inferior itu terlihat dari Anies yang kerap terbentur sana sini dan gagap dalam lobi-lobi sehingga dia sulit untuk mengeksekusi kebijakan maupun programnya.
"Dalam konteks ini Anies seperti limbung untuk eksekusi kebijakan dan negosiasi dengan para pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal kebijakan," kata Wasisto menambahkan.
Hal ini semakin diperburuk dengan kondisi Anies tak punya partai. Anies bukan kader Gerindra dan PKS yang mengusungnya di Pilkada. Meski selama ini Gerindra dan PKS kerap membela Anies, dua parpol tersebut dianggap bukan sebagai penyokong utama. Kursi dua parpol ini juga bila digabungkan bukan mayoritas di DPRD.
Jumlah gabungan kursi Gerindra dan PKS sebanyak 35 dari 106 kursi di DPRD.
Tanpa wakil gubernur DKI sejak Sandi mundur karena mengikuti Pilpres 2019 pun turut mempengaruhi kinerja Anies. Setidaknya sudah setahun lebih Anies 'menjomlo' dalam memimpin Ibu Kota.
"Ketika masih ada Sandiaga, progam-program kampanye Anies sempat jalan. Namun ketika Sandiaga sibuk urusan pilpres dan berhenti jadi wagub, Anies sepertinya 'kedodoran' dalam kinerjanya," tuturnya.
Sementara Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin berpendapat Anies perlu membuka komunikasi dengan partai politik pemilik kursi di DPRD DKI.
Komunikasi itu penting dilakukan Anies agar program kerja yang direncanakan bisa diterima dan akhirnya dapat dieksekusi.
"Karena hanya dengan itulah, kebijakan-kebijakan Anies akan mudah diterima dan agar tak disalahkan terus oleh DPRD," kata Ujang kepada
CNNIndonesia.comUjang menyebut banyak orang partai yang tak suka dengan Anies dan tak sedikit pula yang ingin menjatuhkannya. Terlebih Anies disebut-sebut sebagai calon presiden potensial pada 2024 mendatang.
"Jadi sedikit saja Anies melakukan kesalahan dalam mengeluarkan kebijakan, maka akan langsung diserang," ujarnya.
"Itu salah satu kekurangan orang nonpartai dan dianggap capres potensial di 2024. Jadi sebelum melaju harus dibusuki dulu oleh lawan-lawan politiknya," kata Ujang.
(fra/osc)