Jakarta, CNN Indonesia -- Ketidaktegasan pemerintah dalam membatasi pelaksanaan
Salat Idul Fitri saat pandemi
virus corona (Covid-19) dinilai sebagai keputusan melepas tanggung jawab atas kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Pemerintah tidak tegas melarang, tetapi juga tidak tegas membolehkan salat Idul Fitri berjemaah.
Menteri Agama Fachrul Razi dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI bersama Kemenag, Senin (11/5), mengaku sedang mempertimbangkan untuk membuka pembatasan di masjid dan rumah ibadah lain. Dia membandingkannya dengan relaksasi yang sudah dibuat pada bidang transportasi.
"Misalnya relaksasi di sarana perhubungan, relaksasi di mal, nanti kami coba tawarkan juga ada relaksasi rumah ibadah, tapi belum kami ajukan, tapi kami sudah punya ide itu," kata Fachrul dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI bersama Kemenag, Senin (11/5).
Namun keesokan harinya, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyatakan salat Idulfitri (Id) tak akan dilakukan secara berjemaah apabila pandemi virus corona belum selesai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa hari setelahnya, Fachrul menyampaikan imbauan soal Salat Id di saat pandemi. Pemerintah tak melarang, tidak juga menganjurkan. Hanya saran yang disampaikan Fachrul.
"Betul, boleh tidak salat, karena hukumnya sunnah. Tapi Menag menyarankan untuk tetap salat di rumah, karena hukumnya sunnah muakkadah, sangat dianjurkan," ucap Fachrul menjawab pertanyaan CNNINdonesia.com lewat pesan singkat, Rabu (13/5).
 Menteri Agama Fachrul Razi sempat mengaku mempertimbangkan untuk membolehkan kegiatan ibadah di masjid (CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra) |
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo menilai ada upaya pemerintah melepas tangan dengan memberikan pilihan kebijakan kepada rakyat.
Kunto menjelaskan memberikan opsi kebijakan adalah strategi paling jitu dalam komunikasi publik. Langkah ini akan menekan resistensi atau pembangkangan dari rakyat terhadap kebijakan.
Namun yang terjadi dalam kasus Salat Idul Fitri ini, pemerintah cenderung melepas tanggung jawab. Sebab tidak ada rencana jelas yang dibuat untuk menekan kemungkinan terburuk.
"Ketika pemerintah memberikan pilihan, ada sebagian tanggung jawab yang dilempar kembali ke publik. Cuma kan problemnya apakah pilihan itu fatal? Kita bisa lihat kan, kalau sifatnya fatal begitu kan sebenarnya
nyerah saja pemerintah," kata Kunto saat dihubungi
CNNIndonesia.
com, Kamis (14/5).
Kunto berpendapat seharusnya pemerintah memberikan gradasi pilihan. Dia mencontohkan jika tidak ada larangan Salat Id di tempat umum, maka pemerintah mengumumkan tata cara pencegahan corona.
Misalnya ada aturan jarak antarsaf, minimal pintu keluar masuk, dan aturan pakai masker. Kemudian ada pihak yang ditugaskan untuk mengawasi setiap lokasi Salat Id.
"Kalau pilihannya rasional, protokolnya oke, itu berarti pemerintah sudah hati-hati,
prudent. Kalau sudah begitu, pemerintah sudah bisa bilang tingkat kedisiplinan masyarakat yang menentukan sukses atau tidaknya," tutur Kunto.
Dihubungi terpisah, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin melihat kebijakan soal Salat Id ini ambigu karena pemerintah tidak profesional dalam mengelola komunikasi publik.
Pemerintah tidak seharusnya melempar wacana yang berpotensi membuat kekacauan di masyarakat. Terlebih lagi jika wacana itu belum ada kajian mendalam.
"Ini artinya pemerintah tidak mengelola komunikasi secara profesional. Banyak pejabat yang masing-masing bicara, lalu juga bertabrakan," kata Ujang kepada
CNNIndonesia.
com, Kamis (14/5).
Senada dengan Kunto, Ujang menilai ada kesan pemerintah memberi pilihan-pilihan berbahaya terhadap rakyat. Menurut dia, seharusnya pemerintah tegas dalam membuat kebijakan di saat pandemi.
Jika pun harus memperbolehkan Salat Id dilakukan di masjid atau tempat terbuka, harus ada aturan yang jelas. Ujang berpendapat pemerintah bertugas meminimalisir dampak buruk bagi rakyatnya.
"Misalnya dengan jarak sekian, protokol sekian, ada rambu-rambu. Itu sebenarnya guna ada pemerintah, gunanya ada negara," ucap Ujang.
 Kepala Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo meminta salat Idul Fitri dilakukan di rumah, tak seperti pernyataan Menag Fachrul Razi yang tengah mempertimbangkan kegiatan ibadah di masjid dibolehkan kembali (CNN Indonesia/ Feri Agus Setyawan) |
Luka Lama Kelompok IslamKunto menilai kegamangan kebijakan Salat Id terjadi karena prioritas pemerintah terbelah. Di satu sisi, pemerintah hendak membuka sektor perekonomian guna meredam dampak corona.
Di sisi lain, sebagian kelompok masyarakat tidak terima jika sektor ekonomi dibuka, tapi ibadah dilarang. Terlebih lagi dengan rekam jejak hubungan Presiden Joko Widodo dengan kelompok Islam fundamentalis.
"Pemerintah Jokowi ini jelas punya masalah dengan kelompok-kelompok Islam yang lebih keras. Kalau ekonomi direlaksasi, tapi ibadah enggak, pasti
backlash, efeknya pasti buruk terhadap pemerintah," ucapnya.
Namun dalam praktiknya, pemerintah tidak mengambil putusan yang tegas. Ujang menilai kebijakan yang abu-abu ini hanya akan merugikan pemerintah sendiri.
"Kepercayaan publik kepada pemerintah akan tergerus. Masyarakat akan tidak patuh lagi, jalan sendiri. Ini yang bahaya," Ujang menyampaikan.
(dhf/bmw)
[Gambas:Video CNN]