Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengaku tak bisa ikut campur dalam polemik mahasiswa dan Universitas Nasional (UNAS) terkait sanksi drop out (DO) sampai pelaporan ke polisi.
"Untuk mahasiswa UNAS yang demo kemudian di-drop out dan lain-lain, memang itu semua otonomi kampus masing-masing," ungkap Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi Kemendikbud Aris Junaidi melalui konferensi video, Jumat (17/7).
Ia menjelaskan hal tersebut merupakan perkara yang perlu diselesaikan kampus secara internal. Dalam hal ini, katanya, Kemendikbud tidak bisa mengintervensi perkara kampus dan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aris mengatakan tugas pihaknya hanya memberikan pedoman agar langkah kampus tidak keluar dari aturan. Salah satunya dengan mengeluarkan Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
"Ada Permendikbud No. 3 Tahun 2020 yang mengatur secara general. Tapi internal mahasiswa seperti DO, demo, dan lain-lain, itu kewenangan pimpinan PT (perguruan tinggi). Kita hanya mengatur kebijakan umum. Jangan sampai masalah internal semua dilempar ke Kemendikbud," katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan Kemendikbud sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait UKT melalui Permendikbud No. 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kemendikbud.
![]() |
Dalam aturan itu, mahasiswa yang terdampak Corona bisa mengajukan pemotongan, pengangsuran, maupun penundaan biaya UKT. Dengan syarat mahasiswa dapat menunjukkan buktinya ke perguruan tinggi.
Aris mengatakan pihaknya juga sudah mengeluarkan dana hingga Rp1 triliun untuk target 400 mahasiswa di PTS dan PTN. Dana ini direlokasi dari anggaran pendidikan tinggi.
"Itu diberikan pembebasan UKT, semua UKT dibayarkan oleh dikti. Tapi untuk mahasiswa yang betul-betul terkena dampak. [Jumlah] Kuota diberikan, perguruan tinggi yang seleksi. Dananya sudah disediakan," ujarnya.
Sebelumnya perwakilan mahasiswa UNAS mendatangi gedung Dikti di kantor Kemendikbud, Senayan, Jakarta Selatan pada Selasa (14/7). Mereka meminta Kemendikbud menginstruksikan kampus mencabut sanksi DO, skorsing, dan surat peringatan berat kepada mahasiswa.
Mereka menduga sanksi tersebut diberikan karena rentetan aksi menuntut pemotongan UKT yang dilakukan di depan kampus dan lewat media sosial.
Mereka juga mengklaim terdapat intimidasi berupa permintaan menandatangani surat perjanjian dengan ancaman sanksi, pemukulan oleh petugas keamanan ketika membubarkan aksi, sampai penerobosan massa aksi oleh mobil dari pihak kampus.
![]() |
Di sisi lain, pihak UNAS menyayangkan perilaku anarkistis mahasiswa ketika melakukan aksi di depan kampus. Mulai dari pembakaran ban, upaya penghalangan dan perusakan mobil dosen, dan pemukulan terhadap karyawan kampus.
Pihak kampus bahkan berupaya melaporkan salah satu oknum mahasiswa ke Polres Jakarta Selatan dengan jeratan pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas dugaan pencemaran nama baik di media sosial.
"Di sini kami adalah korban dari tindakan demonstrasi anarkis dan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh oknum mahasiswa," ujar Rektor UNAS El Amry Bermawi Putera melalui keterangan pers yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (15/7).