Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyebut perkuliahan bisa dilakukan secara tatap muka khusus di kampus yang berada di daerah yang sudah memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
"Proses perkuliahan secara tatap muka baru dapat dilakukan bila wilayah di mana kampusnya berada dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh WHO," kata dia, saat menghadiri virtual Dies Natalis Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) ke-17 secara virtual, Selasa (21/7).
Setidaknya, kata dia, ada tiga syarat bagi daerah yang dapat menyelenggarakan kembali kegiatan pendidikan tinggi pada masa pandemi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, penularan Covid-19 di daerah tersebut harus sudah terkendali, yang ditunjukkan dengan rendahnya angka reproduksi (Ro) di bawah angka 1 selama dua pekan berturut-turut.
Kedua, lanjutnya, wilayah tersebut memiliki layanan dan sistem kesehatan yang cukup untuk menangani kasus Covid-19.
Ketiga, wilayah tersebut memiliki kemampuan dalam melakukan pelacakan, yang ditandai dengan kecukupan jumlah pelaksanaan testing.
Selain pemenuhan ketiga syarat tersebut, Ma'ruf menggarisbawahi soal kedisiplinan seluruh tenaga pengajar, mahasiswa, dan karyawan di lingkungan kampus tersebut terhadap protokol pencegahan Virus Corona.
![]() |
"Semua hal itu menjadi kunci mengingat kampus adalah tempat berkumpulnya banyak mahasiswa dan dosen yang berasal dari berbagai daerah," katanya.
Ujian
Selain itu, ia meminta standar ujian bagi mahasiswa yang menjalani pembelajaran secara daring selama masa pandemi disamakan dengan standar di masa normal. Ia tak ingin ada penurunan kualitas sumber daya.
"Tidak boleh ada excuse [alasan] terhadap kualitas, baik kualitas pembelajaran maupun pengujian. Mahasiswa harus tetap bisa diuji dengan standar yang sama dengan pembelajaran konvensional," tuturnya.
Ma'ruf lantas mengimbau agar para pengajar harus memiliki kreativitas untuk keluar dari gaya pembelajaran konvensional dalam merespon kondisi ini.
"Dan harus lebih inovatif dalam menyiapkan materi serta mekanisme pembelajaran," kata Ma'ruf.
Di sisi lain, Ma'ruf juga meminta agar mahasiswa harus lebih mandiri dalam belajar dengan memanfaatkan seluruh sumber pengetahuan untuk melengkapi proses pembelajaran secara daring saat ini.
"Pandemi Covid-19 tidak selayaknya membuat kita mundur tapi tetap harus bergerak maju dengan segala keterbatasan yang ada," ujar Ma'ruf.
Beasiswa
Terpisah, Gerakan Pascasarjana Indonesia kembali menuntut keringanan uang kuliah sembari membantah pernyataan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyebut bahwa sebagian besar mahasiswa S2 merupakan penerima beasiswa.
![]() |
"Berdasarkan penelitian dari Gerakan Pascasarjana Indonesia di tiga kampus, pernyataan bahwa mahasiswa pascasarjana 'banyak beasiswanya' nyatanya tidak terbukti," tutur Gerakan ini dalam siaran persnya.
Bahwa, 90,7 persen mahasiswa pascasarjana membayar uang kuliah secara mandiri, dan hanya 9,3 persen mahasiswa yang mendapatkan beasiswa.
Berdasarkan survei yang dilakukan pada 347 mahasiswa penerima beasiswa dari pascasarjana UI dan UGM (UI sejumlah 44 dan UGM 303), sejumlah 34,3 persen responden mengaku beasiswa yang didapat mengalami permasalahan selama pandemi.
"88,4 persen perekonomian keluarga dari mahasiswa pascasarjana terdampak krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19," lanjut pernyataan tersebut.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam menyebut Permendikbud soal penyesuaian biaya kuliah saat pandemi hanya berlaku untuk mahasiswa D4 dan S1.
"[Mahasiswa program] S2 dan S3 kebanyakan sudah berbeasiswa," ucap dia, lewat keterangan tertulis.
(rzr/antara/arh)