Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan secara substansi, Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) tidak sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional.
RUU tersebut, menurut dia, berpotensi merampas hak pekerja atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan yang dijamin dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).
"Kondisi tersebut termasuk upah yang adil, upah yang sama untuk beban kerja yang sama, lingkungan kerja yang aman dan sehat, pembatasan jam kerja yang wajar, perlindungan bagi pekerja selama dan setelah masa kehamilan dan persamaan perlakuan dalam lingkungan kerja," kata dia lewat keterangan tertulis, Rabu (19/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, ia merinci substansi dalam RUU Ciptaker yang dinilai bertentangan dengan standar HAM Internasional. Dalam RUU Ciptaker, kata dia, tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum.
Selain itu, RUU ini juga akan menghapus Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) yang menyebabkan pengenaan upah minimum, dipukul rata di semua kota/kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.
"Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional," kata Usman.
Substansi dalam RUU Ciptaker, kata dia, juga akan menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak, serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap.
Ketentuan ini, dinilai akan memberikan kekuasaan pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak sementara untuk jangka waktu tak terbatas.
Dengan keadaan seperti itu, menurut Usman, berpotensi terjadi perlakuan tidak adil bagi para pekerja, karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap, sehingga seterusnya mereka tidak mendapat perlindungan yang memadai
"Ini merupakan kemunduran dari undang-undang yang ada, dan lagi-lagi, bertentangan dengan standar HAM internasional," ucap dia.
![]() |
Selain itu, RUU Cipta Kerja juga dinilai merugikan pekerja karena menghapus beberapa bentuk cuti berbayar, termasuk cuti haid, cuti pribadi, cuti melahirkan, dan hari raya keagamaan. Selama ini, jenis-jenis cuti tersebut merupakan cuti tambahan di luar jatah cuti tahunan 12 hari.
"Pemerintah dan DPR harus segera mengkaji ulang pasal-pasal dalam RUU Ciptaker yang berpotensi melanggar HAM. Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak pekerja dilindungi, sejalan dengan hukum nasional dan standar HAM internasional," kata dia.
Tidak hanya secara subtansi, Usman juga mengkritik proses penyusunan Omnibus Ciptaker yang dinilai tidak terbuka dan tidak transparan.
Ia menyebut setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik. Hal itu dijamin dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak‑Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
"Seharusnya para serikat pekerja dilibatkan dalam proses penyusunannya sejak awal, karena anggota merekalah yang akan terdampak langsung oleh RUU tersebut," kata dia.
RUU Omnibus Law Ciptaker sendiri akan berisi beberapa undang-undang yang dijadikan satu. Setidaknya, ada 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang akan diubah pemerintah dan dibagi ke-11 kluster.
Presiden Jokowi mengklaim RUU itu dapat menarik investasi asing karena mampu menciptakan kemudahan melakukan usaha.
Namun, RUU Omnibus Law Ciptaker menuai protes dari berbagai kalangan. Tidak sedikit elemen masyarakat yang sudah turun ke jalan agar RUU tersebut dihentikan.
Pasal-pasal dalam RUU Ciptaker dinilai merugikan kaum buruh, selain itu, serikat buruh merasa juga tidak dilibatkan dalam proses pembahasan aturan ini.
Menanggapi sejumlah kritik yang merasa pemerintah-DPR tidak terbuka dalam pembahasan RUU ini, Ketua DPR RI Puan Maharani menjanjikan pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker akan dilakukan secara hati-hati dan transparan.
"Pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan secara cermat, hati-hati, transparan, terbuka," ujar Puan, dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang I Tahun 2020-2021 dalam rangka penyampaian pidato Presiden RI mengenai RUU APBN 2021 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (14/8).
"Hal ini dilakukan agar UU yang dihasilkan memiliki legitimasi yang kuat untuk menjaga kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia," lanjutnya.