Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebut pemaksaan mendarat (force down) pesawat asing yang melanggar wilayah udara RI masih kurang terkoordinasi. Hal ini berdampak pada gugatan balik kepada pihak Indonesia.
Hal ini pun mendorongnya menginisiasi pembuatan kesepakatan bersama 10 kementerian terkait penanganan pesawat udara asing setelah pemaksaan mendarat (Force Down).
Selain itu, digelar pula latihan Penanganan Pelanggaran Pesawat Udara Asing setelah Pemaksaan Mendarat (Force Down) TA. 2020 di Hanggar Skadron Udara 45 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (4/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud mencontohkan kurangnya mekanisme koordinasi dalam pemaksaan pendaratan itu terjadi pada insiden pesawat Ethiopian Airlines, 14 Januari 2019.
Saat itu, dua jet tempur F16 TNI AU memaksa pesawat komersil itu turun (force down) mendadak karena tak memiliki izin melintasi wilayah udara Indonesia.
"Force down yang dilakukan TNI AU kepada Ethiopian Airlines pada 14 Januari 2019 lalu, telah memberikan peringatan kepada kita semua, terhadap pentingnya koordinasi antara kementerian dan lembaga, khususnya dalam penanganan pesawat udara yang telah di force down," kata Mahfud melalui rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (4/9).
Ketika itu, penanganan pasca-force down terhadap pesawat yang tak memiliki izin lintas itu memakan waktu yang berlarut-larut. Hal ini terjadi lantaran belum ada kesepakatan antara lembaga.
Akhirnya, pihak maskapai Ethiopia itu malah mengajukan keberatan dan gugatan karena tidak ditangani secara cepat dan malah memicu kerugian.
"Harus ada koordinasi antar unit kerja kementerian lembaga di lapangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, sehingga bukan hanya sebatas aturan dan tata cara tertulis, tetapi bisa dimanfaatkan maksimal dan sebagai uji fungsi, pemahaman pada prakteknya di lapangan," kata Mahfud.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen TNI Joni Surpiyanto mengatakan maraknya pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing menunjukkan bahwa konsep ruang udara nasional Indonesia masih relatif terbuka dan tidak eksklusif.
"Pelanggaran wilayah udara nasional berbeda dengan kriminal biasa, dimana pelanggaran wilayah udara dapat berdampak pada aspek pertahanan dan kedaulatan negara," kata dia dalam rilis yang diterima CNNIndonesia.com.
Menurutnya, mengamankan wilayah udara RI yang luas dengan keterbatasan sarana dan prasarana merupakan sebuah tantangan.
"Namun hal tersebut bukan kendala atau alasan bagi Kohanudnas untuk selalu berupaya melaksanakan tugas selaku penegak kedaulatan wilayah udara yurisdiksi nasional secara optimal," ucap dia.
Baginya, penanganan pesawat udara asing yang melanggar wilayah udara nasional mempunyai arti penting dalam menjaga kedaulatan negara.
(yoa/tst/arh)