Tepat 16 tahun aktivis HAM, Munir Said Thalib meninggal dunia. Ia tewas dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia ke Belanda untuk melanjutkan studinya di Universitas Utrecht pada 7 September 2004 lalu. Hasil autopsi, menunjukkan Munir tewas karena racun arsenik.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM Choirul Anam mengatakan hari meninggalnya Munir sudah selayaknya dimahfumi sebagai Hari Perlindungan Para Pembela HAM Indonesia.
"Pentingnya 7 September sebagai Hari Perlindungan Para Pembela HAM, bukan hanya untuk mengenang Cak Munir, namun lebih jauh adalah merawat semangat dan ide perlindungan pembela HAM Indonesia itu sendiri agar keadilan dan kesejahteraan berbasis HAM terwujud di Indonesia," kata Choirul dalam siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (7/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Choirul mengatakan 7 September juga menjadi hari duka bagi gagasan tata kelola negara berbasis HAM di Indonesia. Ia pun mengenang berbagai gagasan dan sepak terjang Munir semasa hidupnya.
Munir, kata Choirul, adalah pejuang HAM yang kerap memperjuangkan hubungan sipil dengan militer agar bisa dikelola dengan sistem demokrasi berbasis HAM.
Menurutnya, jika hubungan sipil dengan militer bisa berjalan sesuai dengan yang diperjuangkan Munir, tentu peristiwa dan berbagai aksi kekerasan yang kerap melibatkan konflik antara sipil dan militer tak akan terjadi saat ini. Salah satunya yang terdekat adalah peristiwa Mapolsek Ciracas.
"Peristiwa Mapolsek Ciracas yang diserbu, atau berbagai kasus kekerasan lainnya yang melibatkan hubungan sipil militer tidak akan terjadi. Dan negara kita akan memiliki militer yang tangguh dan lebih profesional dalam pertahanan negara," ujarnya.
Selain itu, lanjut Choirul, Munir juga berhubungan dengan perlindungan para pembela HAM. Menurutnya, Munir memandang pembela HAM memiliki kontribusi dalam berbagai usaha untuk memperbaiki kondisi negara, termasuk membangun kesejahteraan.
Para pembela HAM, bagi Munir tak hanya dipahami sebagai aktivis HAM yang berada di garis depan melawan kekerasan. Mereka yang menjadi inisiator di kampung, desa, hutan yang memperkuat ekonomi, merawat hutan, menyelamatkan binatang, hingga tenaga pendidikan di berbagai pelosok yang melawan buta huruf dan akses pendidikan adalah para pejuang HAM.
Oleh karena itu, Choirul menyatakan peran Munir sangat besar karena pada praktiknya pejuang HAM bukan hanya mereka yang kerap ada di barisan depan, melainkan mereka yang memperjuangkan hak-hak mereka di seluruh pelosok negeri.
"Peran Cak Munir dalam kampanye perlindungan pembela HAM sangat besar, dan Cak salah satu pioner dalam pembelaan para pembela HAM di Indonesia," ujarnya.
Meski begitu, kata Choirul, tak dapat dipungkiri, usaha para pembela HAM kerap tak berbanding lurus dengan perlindungan yang diberikan negara. Tak sedikit dari mereka yang mendapat kekerasan, kriminalisasi, stigma atau bahkan perlakukan lain yang kejam.
"Pada posisi inilah Cak Munir dengan beberapa kolega mendirikan organisasi Imparsial," katanya.
Pada 7 September 2004 silam, Munir tewas dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda. Hasil autopsi menunjukkan Munir tewas karena racun arsenik. Penyelidikan saat itu dilakukan, namun menurut kelompok masyarakat sipil baru pelaku lapangan yang ditindak.
Proses persidangan kasus pembunuhan Munir menjerat dua orang. Mereka adalah bekas pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto dan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan.
Indra divonis setahun penjara, sementara Pollycarpus divonis 14 tahun penjara, dengan remisi total 4 tahun 6 bulan 20 hari dan kini telah bebas.
Selain itu, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwoprandjono alias Muchdi PR juga sempat diseret ke pengadilan terkait kasus pembunuhan Munir, namun ia divonis bebas.
Sementara itu Mantan Sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir, Usman Hamid sempat meminta Presiden Joko Widodo membuka seluruh hasil penyelidikan TPF terkait pembunuhan Munir.
Perintah mengumumkan hasil penyelidikan TPF Kasus Munir dimuat dalam Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 2004 era Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam poin kesembilan Keppres tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir itu disebut, pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan tim kepada masyarakat.
Namun, pemerintah mengklaim dokumen TPF hilang. Padahal sejak lama TPF telah memberikan dokumen hasil penyelidikan itu kepada pihak Kementerian Sekretariat Negara.
(tst/fra)