Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga menilai penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) diskriminatif. Ia mengatakan pemerintah tak pernah membuka akses publik terhadap RUU dan tak menyediakan sarana langsung bagi masyarakat untuk memberikan masukan.
Demikian disampaikan Sandrayati dalam sidang lanjutan gugatan Surat Presiden (Surpres) RUU Omnibus Law Ciptaker di PTUN Jakarta, Selasa (15/9).
Ia dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi selaku Penggugat, bersama dua orang lainnya yaitu pengajar Fakultas Hukum UGM, Oce Madril dan Bivitri Susanti dari STHI Jentera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam persidangan tersebut, Sandrayati menjelaskan bahwa proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang menjadi dasar terbitnya Surpres tidak hanya tertutup, tetapi juga diskriminatif," kata anggota Tim Advokasi, Nelson Nikodemus Simamora, Rabu (16/9).
Menurut Sandrayati, diskriminasi tidak hanya terjadi melalui tindakan langsung dalam sebuah regulasi. Namun bisa juga terjadi dalam proses penyusunan undang-undang.
Diskriminasi dalam penyusunan UU terjadi sepanjang ada pembatasan terhadap suatu kelompok atau pengistimewaan terhadap kelompok tertentu yang berakibat pada berkurang atau hilangnya suatu penikmatan hak.
![]() |
Dalam konteks penyusunan RUU Omnibus Law Ciptaker, pemerintah memberikan kedudukan istimewa kepada pengusaha dengan pembentukan Satgas Omnibus Law melalui SK Menko Perekonomian No. 378 Tahun 2019.
"Di lain sisi, akses kelompok masyarakat lainnya seperti masyarakat adat, buruh, petani dan lainnya ditutup, bahkan untuk mengakses draf RUU," tandasnya.
Sandrayati, kata Nelson, turut menyampaikan hasil pemantauan lembaganya terhadap proses penyusunan RUU Omnibus Law Ciptaker sebelum diterbitkannya Surpres. Sandrayati menyatakan ketertutupan mengakses draf RUU juga dirasakan oleh Komnas HAM.
"Hal tersebut menurut Komnas HAM melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan yang berpengaruh pada kesejahteraan umum," ujar Nelson mengutip keterangan Komisioner Bidang Pengkajian dan Penelitan Komnas HAM itu.
Sidang lanjutan dengan agenda keterangan saksi ahli dari pihak Tergugat akan digelar pada Selasa, 22 September 2020.
Sebelumnya, Surpres Joko Widodo ke DPR terkait pengajuan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja digugat ke PTUN Jakarta pada 30 April 2020.
Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai ada pelanggaran prosedur dan substansi dari penyusunan draf RUU Ciptaker yang dilakukan pemerintah.
Sebagai inisiator dari RUU tersebut, pemerintah tidak secara aktif melibatkan masyarakat dalam penyusunan draf. Hal ini dinilai mengabaikan prinsip yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(ryn/pmg)