Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Tenggara (Sultra) menilai upaya Polda Sultra membubarkan unjuk rasa mahasiswa menggunakan helikopter melanggar Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-Hara.
Sebelumnya, helikopter polisi terbang rendah di atas aksi unjuk rasa terkait kematian dua mahasiswa Kendari dalam demo menolak RKUHP tahun lalu, di depan Mapolda Sultra, Sabtu (26/9).
"Penggunaan helikopter dalam mengendalikan massa unjuk rasa tidak sesuai dengan Perkap No. 2 tahun 2019 tentang penindakan huru-hara," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Sultra Mastri Susilo, dalam keterangan tertulisnya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (26/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait penggunaan helikopter ini, Ombudsman akan melakukan pendalaman dan akan meminta klarifikasi kepada Kapolda Sultra Irjen Pol Yan Sultra Indrayanto.
"Termasuk penanggung jawab lapangan saat pengendalian masa unjuk rasa 26 September 2020," katanya.
Diketahui, Perkap No. 2 Tahun 2019 itu memuat sejumlah prosedur penanganan aksi massa. Misalnya, saat situasi kuning atau merah, satuan Dalmas dan Brimob PHH akan dikerahkan.
Cara bertindak, di antaranya, dilakukan dengan pendorongan massa, penyemprotan air dengan menggunakan water canon, penembakan gas air mata, pemadaman api bila terjadi pembakaran, penangkapan provokator, pemasangan kawat barier.
Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari polisi terkait penggunaan helikopter untuk membubarkan massa. Kapolda Sultra Irjen Pol Yan Sultra belum memberikan keterangan saat dihubungi melalui pesan WhatsApp-nya.
Begitu pula Kepala Bidang Humas Polda Sultra Kombes Pol Ferry Walintukan belum membalas pesan yang dikirim CNNIndonesia.com.
Sebelumnya, polisi mengerahkan helikopter membubarkan massa yang menggelar demonstrasi mengenang tewasnya Randi (21) dan Muh Yusuf Kardawi (19), Sabtu (26/9).
Ratusan massa dari berbagai kampus dan organisasi di Kendari menggelar demonstrasi di Mapolda Sultra. Mereka turut merusak kawat berduri yang dibentangkan polisi di jalan menuju Polda Sultra.
Massa juga membakar sejumlah ban bekas dan pataka yang dibawa sehingga memicu asap membumbung tinggi di sekitar Mapolda Sultra.
Tak lama melakukan orasi, helikopter milik Polda Sultra kemudian dikerahkan dan beberapa kali melintas di atas kerumunan massa aksi.
Helikopter itu kemudian terbang rendah dan angin yang kencang seketika membubarkan massa. Ban bekas yang dibakar turut padam. Selain massa sejumlah jurnalis dan aparat berhamburan dari lokasi demonstrasi.
Upaya polisi membubarkan massa dengan helikopter memantik perlawanan dari demonstran. Mereka sempat melemparkan batu dan kayu ke arah aparat. Namun, hingga saat ini demonstrasi masih berlangsung aman.
![]() |
Massa secara bergantian menggelar orasi dan mendesak agar kasus meninggalnya Randi dan Yusuf diungkap secara terang.
Mahasiswa menduga Brigadir Abdul Malik bukan tersangka utama tewasnya Randi dan menduga masih ada polisi lain yang terlibat penembakan.
Menurut salah satu orator, Kapolda Sultra Irjen Pol Yan Sultra harus ikut bertanggung jawab atas kasus berdarah September Berdarah. Sebab, dia merupakan penanggung jawab pengamanan pada 26 September 2019 lalu.
"Kapolda harus bertanggung jawab atas meninggalnya dua sahabat kami," tekan salah satu orator.
Kasus Yusuf Gelap
Mereka juga menilai, Kepolisian tidak serius mengungkap pelaku pembunuh Randi dan Yusuf meskipun perkara meninggalnya Randi telah dibawa di persidangan.
"Tapi pengungkapan kasus cukup lama seperti biasanya. Ini menunjukkan polisi tidak serius dan profesional menegakkan aturan terhadap pelanggaran anggotanya. Ini menjadi preseden buruk penegakan hukum di Indonesia ketika melibatkan aparat," tambah orator.
Saat ini, sidang untuk kasus perkara Randi telah masuk pada tahapan mendengarkan keterangan saksi ahli.
![]() |
Dalam perkara ini, Brigadir AM didakwa dengan pasal berlapis atas tewasnya Randi dan tertembaknya warga bernama Putri. AM diduga melakukan tindak pidana yang melanggar pasal 338, subsidair 351 ayat 3 , atau kedua pertama 359 dan 360 ayat 2 KUHP dengan ancaman penjara 15 dan 12 tahun.
Sementara, polisi masih melakukan penyelidikan dalam kasus penembakan terhadap Yusuf Kardawi dan belum ada titik terang hingga saat ini.
Sebelumnya, Kabid Humas Polda Sultra Kombes Ferry Walintukan mengaku petugas kesulitan mendapatkan alat bukti dan saksi yang melihat langsung peristiwa meninggalnya Yusuf.
"Keluarga tidak mau lakukan autopsi. Jadi penyidik agak kesulitan untuk mengetahui penyebab meninggalnya Yusuf Kardawi," kata Ferry saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (28/8).
Ia melanjutkan, pihaknya terbuka terhadap informasi yang masuk bila nantinya ada saksi yang siap memberikan keterangan.
"Hanya saja, tidak ada saksi yang memberikan keterangan dan melihat langsung. Memang ada batu di sekitar situ [meninggalnya Yusuf] identik dengan darah korban. Hanya saja, kita butuh hasil visum penyebab meninggalnya, tapi keluarga tidak mau," imbuhnya.
Sementara itu, terkait saksi di pengadilan yang mengaku ditekan saat proses pengambilan berita acara pemeriksaan (BAP), Ferry mengaku tidak berwenang untuk memberikan keterangan.
"Itu sudah masuk di ranah kejaksaan dan di pengadilan. Jadi saya tidak bisa masuk di wilayah itu," katanya.
(arh/pnd/arh)