Hasil survei terbaru Spektrum Politika menyatakan bahwa mayoritas responden yang merupakan warga Sumatera Barat mendukung Partai Gerindra jelang Pilkada 2020. Hasil tersebut tak berbeda jauh dengan hasil Pemilu 2019 lalu.
"Hasil survei ini tidak terlalu berbeda dari Pemilu 2019," ucap Peneliti Spektrum Politika, Andri Rusta pada pekan lalu.
Hasil survei terbaru itu tentu menjadi pijakan dalam melihat peta politik Pilkada Provinsi Sumbar 2020. Survei dilakukan pada 10-15 September dengan melibatkan 1.200 responden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Responden yang mendukung Gerindra sebesar 27,96 persen. Diikuti PKS 12,82 persen, Golkar 11,46 persen, Demokrat 11,07 persen, PAN 5,05 persen, dan NasDem 3,88 persen.
Lalu PPP 2,72 persen, PDIP 2,14 persen, PKB 0,39 persen, Perindo 0,39 persen, Garuda 0,19 persen, PKPI 0,19 persen, PBB 0,19 persen, serta PSI 0,9 persen.
Sementara hasil Pemilu 2019 di Sumbar, antara lain, Gerindra memperoleh 560.835 suara, PAN 412.483 suara, Demokrat 371.058 suara, PKS 356.294 suara, Nasdem 206.432 suara, dan Golkar 202.182 suara.
Pilkada 2020 di Sumbar sendiri akan diramaikan oleh 4 pasangan calon. Semuanya diusung oleh partai politik.
Berikut pemetaan preferensi pemilih di Sumbar yang dilakukan CNNIndonesia.com berbekal hasil survei elektabilitas partai politik Spektrum Politika.
Namun, Pemetaan tersebut bukan merupakan elektabilitas calon karena hasil survei elektabilitas partai politik tidak pernah sama dengan preferensi masyarakat terhadap calon. Elektabilitas partai di atas menggambarkan bagaimana dukungan masyarakat kepada Partai sebagai partai yang dipilih masyarakat Sumatera Barat.
"Walaupun begitu, dukungan kepada partai ini, misalnya Partai Gerindra belum tentu sama dengan dukungan pemilih Gerindra kepada calon gubernur dan wakil gubernur yang didukung oleh Gerindra, yaitu NA-IC. Saat kampanye inilah semua pasangan calon berusaha memaksimalkan dukungan masyarakat ini agar bisa menjadi suara dalam Pilkada mendatang" kata Andri Rusta menjelaskan.
Masih berdasarkan hasil survei yang sama, tokoh calon presiden di Pilpres 2024 dengan elektabilitas tertinggi adalah Prabowo Subianto dengan 56,5 persen. Diikuti Anies Baswedan 9,8 persen, Sandiaga Uno 7,5 persen, AHY 3,4 persen, Ridwan Kamil 1,6 persen, Gatot Nurmantyo 1,2 persen.
Survei Spektrum Politika dilakukan sepanjang 10-15 September. Ada 1.200 responden yang dilibatkan. Margin of error sebesar kurang lebih 2,9 persen.
"Untuk menjaga kualitas survei, kami melakukan quality control dengan cara menelepon ulang responden untuk mengonfirmasi jawaban mereka sebelumnya," ucap Peneliti Spektrum Politika, Andri Rusta.
![]() |
Andri Rusta menganggap Pilkada 2020 di Sumbar adalah arena pertarungan para pemimpin daerah yang berpengalaman. Penilaian itu berdasarkan latar belakang tiap calon.
Dari delapan peserta atau empat pasangan calon yang bersaing dalam Pilkada Sumbar 2020, hanya tiga yang bukan pemimpin daerah. Mereka adalah Fakhrizal (mantan Kapolda Sumbar), Audy Joinaldy (pengusaha), dan Mulyadi (anggota DPR).
"Mulyadi memang bukan pemimpin eksekutif. Dia anggota DPR RI tiga periode. Tapi, setidaknya dia berpengalaman berhubungan dengan eksekutif," ujar Dosen FISIP Universitas Andalas itu kepada CNNIndonesia.com pada pekan lalu.
Sementara itu, calon lainnya merupakan pemimpin daerah yang berpengalaman, yakni Mahyeldi (Wali Kota Padang), Nasrul Abit (Wagub Sumbar), Indra Catri (Bupati Agam), Ali Mukhni (Bupati Padang Pariaman), dan Genius Umar (Wali Kota Pariaman).
Meski demikian, pengalaman menjadi kepala daerah bukan jaminan seseorang bisa bekerja optimal saat menjadi gubernur dan wakil gubernur.
"Kalau dia berpengalaman, tetapi tidak tahu mau dibawa ke mana provinsi ini, ya percuma. Misalnya, APBD Sumbar yang ada kadarnya itu bagaimana meningkatkannya? Apa cuma pasrah dengan yang ada atau dia punya visi supaya APBD meningkat?" tuturnya.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Padang, Eka Vidya, juga berpendapat bahwa Pilkada Sumbar merupakan pertarungan kepala daerah yang berpengalaman. Ia menilai hal itu bagus karena jika pilkada provinsi diibaratkan perusahaan, ada jenjang karir dari salah satu calon yang menang.
"Jika nanti mereka mengurus daerah tingkat provinsi, mereka sudah punya pengetahuan tentang tata kelola pemerintahan. Itu jauh lebih baik daripada calon yang tiba-tiba muncul tanpa pengalaman memimpin daerah," tuturnya.
Eka sepakat jika ada yang beranggapan bahwa latar belakang sebagai bupati atau wali kota bisa membuat gubernur lebih optimal dalam bekerja. Namun, tetap tidak ada yang bisa menjamin.
Menurutnya, calon tersebut perlu diperiksa baik atau buruk kinerjanya sewaktu menjadi pemimpin daerah.
"Lihat saja siapa di antar calon yang berasal dari pemimpin daerah itu yang berhasil mengurus daerahnya meskipun permasalahan tiap daerah berbeda-beda," ucap dosen sosiologi politik itu.
(adb/bmw)