Jakarta, CNN Indonesia --
Tahun keempat pada periode pertama menjabat Presiden RI, Joko Widodo menyinggung dirinya yang tak pernah didemo oleh masyarakat. Ia menyatakan hal tersebut secara terbuka di Istana Bogor, 7 Desember 2018.
Jokowi menilai demo merupakan bentuk dukungan yang bisa diberikan masyarakat, utamanya mahasiswa. Demo, di mata Jokowi, penting untuk mendorong kinerja pemerintah. Terang-terangan ia meminta mahasiswa mendemo dirinya.
"Didemo dong. Ada yang demo mendukung gitu lho. Nggak ada. Saya dibiarkan jalan sendiri, malah dibilang antek asing. Ini gimana dibolak-balik," katanya di hadapan 150 peserta Konferensi Mahasiswa Nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setahun kemudian, permintaannya terwujud. Ribuan mahasiswa turun ke jalan menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatalkan pengesahan revisi UU Cipta Kerja dan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP), September 2019.
Jokowi didesak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK yang disahkan DPR. Namun hingga dirinya kembali dilantik di periode kedua, Perppu KPK tak juga diterbitkan. UU KPK berkekuatan hukum otomatis.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Arif Susanto menilai saat itu Jokowi sedang menarik-ulur penerbitan Perppu. Mantan gubernur DKI Jakarta tersebut dinilai berada di tengah dilema, antara membela keinginan rakyat atau elite politik di parlemen.
"Tekanan dari masyarakat dipandang Jokowi jauh lebih mudah dihadapi dibandingkan tekanan politik DPR. Karena itu, dia memilih berada satu barisan bersama DPR," katanya.
Kepala Staf Kepresiden Moeldoko meminta masyarakat pengertian dengan situasi Jokowi di tengah polemik RKUHP dan pengesahan UU KPK. Ia meminta mahasiswa dan masyarakat tidak berunjuk rasa menggunakan bahasa yang kurang pantas.
"Jangan lah, Presiden menghadapi situasi yang tidak mudah," ujarnya, 24 September.
Jokowi sendiri menilai rentetan demo sesungguhnya bermula dari ketidakpahaman masyarakat terhadap kebijakan baru yang dibuat pemerintah. Ini diungkap dalam rapat terbatas, 31 September, ketika ia menginstruksikan jajarannya menjelaskan perubahan kebijakan dengan baik.
"Kadang-kadang yang ikut demo juga kan kadang-kadang nggak ngerti substansi pasalnya dimana," katanya.
Gelombang unjuk rasa datang lagi setahun kemudian di periode kedua kepemimpinannya. Kali ini unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.
Melalui konferensi pers yang disiarkan secara daring, 9 Oktober 2020, Jokowi menyebut unjuk rasa yang mencuat di sejumlah titik di Indonesia disebabkan ragam hoaks dan misinformasi mengenai pasal-pasal di UU Cipta Kerja.
"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja dilatarbelakangi disinformasi substansi info dan hoaks media sosial," ungkapnya.
Pernyataan ini ditampik mahasiswa yang menilai Jokowi keliru memandang teriakan masyarakat sesimpel dipicu hoaks dan disinformasi. Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia bahkan menduga pemerintah berupaya memutarbalik narasi.
"Pemerintah pada saat ini menghimpun kekuatan untuk memutarbalikkan narasi dari elemen masyarakat, mahasiswa yang menolak UU Cipta Kerja. [Presiden] menyampaikan dengan lugas, jika kita yang berdemonstrasi termakan hoaks dan disinformasi," ujar BEM SI.
Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja sesungguhnya sudah digalakkan kalangan buruh sejak Januari ketika drafnya masih disebut UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), sebelum akhirnya diubah nama oleh DPR.
Namun pascasidang Paripurna, 5 Oktober, eskalasi demo melebar hingga ke kalangan mahasiswa, pelajar, sampai ke Perkumpulan Alumni 212. 11 halte di DKI Jakarta rusak karena kericuhan demonstrasi 8 Oktober. Sejumlah pos polisi pun habis dibakar.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebut masyarakat yang menggelar aksi di tengah pandemi covid-19 sebagai sampah demokrasi.
"Dalam masa pandemi, dia kirim orang untuk berdemonstrasi. Di mana logikanya coba. Jangan jadi sampah demokrasi di negeri ini," serunya di balik pagar Istana Negara ketika memantau aksi unjuk rasa yang dilakukan Aliansi Nasional Anti Komunis (Anak) NKRI.
Selain perkara UU kontroversial, gelombang unjuk rasa menuntut keadilan hingga kritikan sikap diskriminatif mewarnai tahun pertama periode kedua kepemimpinan Jokowi yang didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
Pekan pertama setelah dilantik, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf masih punya utang menyelesaikan kasus penembakan dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Himawan dan Randi pada demonstrasi menolak RKUHP dan UU KPK di Gedung DPRD Sulawesi Utara, Kendari.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kendari menggelar aksi di depan Mapolda Sulawesi Utara, 22 Oktober 2019. Mereka menuntut keadilan bagi Himawan Randi (21) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19), korban mahasiswa yang meninggal.
Hasil autopsi menyatakan Randi meninggal karena tembakan peluru pada ketiak kiri bagian bawah. Namun RS Kota Kendari tidak mengetahui peluru yang dipakai dari senjata tajam atau tumpul. Sedangkan Yusuf meninggal dunia karena pendarahan hebat akibat benturan benda tumpul di kepala.
Keesokan harinya, 23 September, Kepolisian RI mencopot enam personel polisi yang diduga membawa senjata api saat mengamankan demo di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara, Kendari dari jabatannya.
"Ada 5 yang berpangkat bintara, kemudian 1 berpangkat perwira. Yang bintara sudah dilakukan sidang disiplin sebanyak dua kali," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra.
"Kemudian yang perwira akan dilaksanakan sidang disiplinnya yang kedua besok," lanjutnya.
Kapolri Tito Karnavian juga mencopot Kapolda Sulawesi Utara Brigjen Pol Iriyanto pasca insiden tersebut. Namun upaya-upaya ini tidak memuaskan pihak keluarga korban.
Menurut mereka, pelaku seharusnya dijerat pasal penganiayaan sampai pembunuhan berencana. Kuasa hukum korban, Sukdar menilai ini patut dipertimbangkan karena Kapolda Sultra dan Kapolres Kendari sudah menginstruksikan personel tidak membawa senjata api saat mengawal aksi.
"Keluarga berharap polisi menetapkan tersangka dari pembunuh almarhum Yusuf," kata Ramlan, orang tua Yusuf.
Hingga setahun insiden terjadi, tuntutan pihak keluarga korban belum juga tuntas. Polisi hanya mengungkap terduga pelaku penembakan, yakni anggota Reserse Kriminal Polres Kendari Brigadir Abdul Malik. Namun perkembangan penyelidikannya seolah mandek.
Pada 24 September 2020, puluhan mahasiswa kembali berdemo di depan rumah jabatan Kapolda Sulawesi Tenggara sebagai aksi solidaritas mengenang meninggalnya Randi dan Yusuf.
"Ini bentuk protes kami terhadap institusi kepolisian yang cenderung melindungi anggotanya dalam peristiwa meninggalnya dua sahabat kami, Randi dan Yusuf Kardawi," ungkap koordinator aksi, Baharuddin Yusuf.
"Ini membuktikan bahwa kasus meninggalnya Randi tidak akan diusut tuntas dan keluarga tidak akan mendapatkan keadilan semestinya," lanjutnya.
Tuntutan atas ketidakadilan juga memicu mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan di Surabaya dan Jakarta. Juni 2020, pemerintah kembali dihadang kritik perihal tuntutan terhadap tujuh tahanan politik Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan.
Tahanan asal Papua tersebut dijerat hukum karena dugaan terlibat demonstrasi yang memprotes aksi rasialisme di asrama mahasiswa Papua, Surabaya, Jawa Timur pada pertengahan 2019. Mereka ditahan hingga berlanjut menjadi terdakwa dan dituntut penjara mulai 5 sampai 17 tahun.
Masyarakat yang tergabung dalam Komite Pembebasan Tahanan Politik Papua beraksi di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, 15 Juni. Mereka meminta tujuh tapol Papua itu segera dibebaskan.
"Kami menuntut kepada negara untuk membebaskan tujuh tapol Papua tanpa syarat, tarik militer dari Papua dan berikan akses jurnalisme asing di Papua," kata koordinator aksi, Aldi.
Aksi serupa juga digelar di Surabaya sehari kemudian, 16 Juni. Puluhan massa mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua berkumpul di depan Gedung Negeri Grahadi menyerukan ketidakadilan pemerintah terhadap rakyat Papua.
"Orang Papua punya ingatan dan ikatan emosional, satu luka semua rasa, satu sedih semua sedih, satu menangis semua menangis," seru orator aksi.
Juru bicara AMP Surabaya Sam Kayame menyebut ancaman penjara yang diberikan kepada tujuh tahanan asal papua itu diskriminatif. Ini berkaca pada penjatuhan hukuman kepada pelaku aksi rasialisme di asrama mahasiswa Papua, Surabaya yang tak sebanding.
Syamsul Arifin dan Tri Susanti, pelaku pengujar rasialisme kepada mahasiswa di asrama tersebut dijatuhi hukuman 5 dan 7 bulan penjara. Jauh dari tuntutan kepada tujuh tahanan politik yang memprotes aksi kedua individu tersebut.
"Ini tidak setimpal, bagaimana hukuman dari pelaku rasisme lebih ringan dari korban rasis," tambah Sam.
Selang beberapa bulan, masyarakat Papua kembali menyuarakan kritik kepada pemerintahan Jokowi. Kali ini mereka menolak otonomi khusus Papua Jilid II. Ribuan massa berkumpul di depan Polres Nabire, Papua, 26 September.
Mulanya mereka mau beraksi di depan kantor bupati, namun diadang polisi. Juru bicara aksi, Jefry Wenda menyebut penerapan otsus yang sudah berjalan 19 tahun ini tak memberikan dampak positif ke masyarakat Papua. Termasuk dana otsus yang digelontorkan.
Unjuk rasa menuntut hal serupa juga digelar oleh puluhan mahasiswa Universitas Cendrawasih pada 28 September 2020 di Jayapura, Papua. Namun aksi tersebut dibubar paksa oleh aparat gabungan TNI dan Polri. Langkah ini dikritik Perkumpulan Advokat HAM Papua (PAHAM).
Mereka mengungkap pembubaran paksa yang dilakukan aparat disertai kekerasan dan penembakan kepada demonstran. Padahal, menurutnya larangan pembubaran demonstrasi secara paksa diatur pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
"Polisi juga memukul dua mahasiswa hingga terluka dan berdarah, yaitu Yabet Lukas Degei dan Selius Wanimbo. Yebet Lukas Degei dipukul di bagian kepala belakang hingga kepalanya terluka dan berdarah, sedangkan Selius Wanimbo dipukul dengan popor senjata di bagian badannya hingga terluka dan berdarah," ungkap advokat PAHAM, Gustaf Kawer.
Menanggapi ragam demonstrasi, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD mengklarifikasi tidak ada perpanjangan otsus yang dilakukan pihaknya. Yang ada adalah perpanjangan dana otsus yang bakal berakhir tahun depan.
"Otsus Papua sudah berlaku dan sudah disepakati secara nasional, secara komprehensif. Sekarang kita bicara dananya karena dana itu akan berakhir tahun depan," katanya, 2 Oktober.
Klaim perlakuan diskriminasi dan rasialisme kepada rakyat Papua banyak disuarakan masyarakat sipil hingga aktivis yang gencar membela polemik HAM di Bumi Cenderawasih. Salah satu sosok yang erat kaitannya dengan rakyat Papua adalah Veronika Koman.
Perempuan yang akrab disapa Vero itu banyak mengadvokasi perkara yang dialami rakyat Papua. Salah satunya mendampingi kasus rasialisme di asrama mahasiswa papua di Surabaya. Ia juga vokal menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah terkait Papua di akun Twitter.
Buntutnya Vero ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menjadi penghasut ragam demonstrasi dan kerusuhan di Papua yang terjadi pertengahan tahun lalu.
Indonesia menetapkan Vero sebagai buronan interpol karena berada di luar negeri. Ia pun didesak mengembalikan beasiswa yang didapat dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan ketika melanjutkan studi S2 di Australia.
"Kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016. Adapun jumlah dana yang diminta adalah sebesar IDR 773,876,918," ungkap Vero.
Tantangan ini diamini masyarakat Papua yang tergabung dalam Tim Solidaritas Rakyat Papua. Mereka urunan dan berhasil mengumpulkan setiap sen yang diminta pemerintah kepada Vero. Uang tersebut diantarkan ke kantor Kemenko Polhukam, 16 September.
"Ini menjadi pesan bahwa tidak ada utang lagi dari mbak Veronica Koman ke Kementerian Keuangan," pungkas juru bicara Jaringan Masyarakat Sipil, Suarbudaya Rahadian.