SATU TAHUN JOKOWI-MA'RUF

Gelombang Demo Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf

CNN Indonesia
Selasa, 20 Okt 2020 10:01 WIB
Satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf diwarnai sejumlah demonstrasi, mulai dari UU KPK, UU Cipta Kerja, hingga dugaan diskriminasi dan rasialisme di Papua
Satu tahun Jokowi-Ma'ruf diwarnai banyak demonstrasi menolak kebijakan pemerintah, salah satunya menolak UU Ciptaker. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia --

Tahun keempat pada periode pertama menjabat Presiden RI, Joko Widodo menyinggung dirinya yang tak pernah didemo oleh masyarakat. Ia menyatakan hal tersebut secara terbuka di Istana Bogor, 7 Desember 2018.

Jokowi menilai demo merupakan bentuk dukungan yang bisa diberikan masyarakat, utamanya mahasiswa. Demo, di mata Jokowi, penting untuk mendorong kinerja pemerintah. Terang-terangan ia meminta mahasiswa mendemo dirinya.

"Didemo dong. Ada yang demo mendukung gitu lho. Nggak ada. Saya dibiarkan jalan sendiri, malah dibilang antek asing. Ini gimana dibolak-balik," katanya di hadapan 150 peserta Konferensi Mahasiswa Nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setahun kemudian, permintaannya terwujud. Ribuan mahasiswa turun ke jalan menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membatalkan pengesahan revisi UU Cipta Kerja dan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP), September 2019.

Jokowi didesak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK yang disahkan DPR. Namun hingga dirinya kembali dilantik di periode kedua, Perppu KPK tak juga diterbitkan. UU KPK berkekuatan hukum otomatis.

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Arif Susanto menilai saat itu Jokowi sedang menarik-ulur penerbitan Perppu. Mantan gubernur DKI Jakarta tersebut dinilai berada di tengah dilema, antara membela keinginan rakyat atau elite politik di parlemen.

"Tekanan dari masyarakat dipandang Jokowi jauh lebih mudah dihadapi dibandingkan tekanan politik DPR. Karena itu, dia memilih berada satu barisan bersama DPR," katanya.

Kepala Staf Kepresiden Moeldoko meminta masyarakat pengertian dengan situasi Jokowi di tengah polemik RKUHP dan pengesahan UU KPK. Ia meminta mahasiswa dan masyarakat tidak berunjuk rasa menggunakan bahasa yang kurang pantas.

"Jangan lah, Presiden menghadapi situasi yang tidak mudah," ujarnya, 24 September.

Jokowi sendiri menilai rentetan demo sesungguhnya bermula dari ketidakpahaman masyarakat terhadap kebijakan baru yang dibuat pemerintah. Ini diungkap dalam rapat terbatas, 31 September, ketika ia menginstruksikan jajarannya menjelaskan perubahan kebijakan dengan baik.

"Kadang-kadang yang ikut demo juga kan kadang-kadang nggak ngerti substansi pasalnya dimana," katanya.

Gelombang unjuk rasa datang lagi setahun kemudian di periode kedua kepemimpinannya. Kali ini unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.

Melalui konferensi pers yang disiarkan secara daring, 9 Oktober 2020, Jokowi menyebut unjuk rasa yang mencuat di sejumlah titik di Indonesia disebabkan ragam hoaks dan misinformasi mengenai pasal-pasal di UU Cipta Kerja.

"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja dilatarbelakangi disinformasi substansi info dan hoaks media sosial," ungkapnya.

Pernyataan ini ditampik mahasiswa yang menilai Jokowi keliru memandang teriakan masyarakat sesimpel dipicu hoaks dan disinformasi. Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia bahkan menduga pemerintah berupaya memutarbalik narasi.

"Pemerintah pada saat ini menghimpun kekuatan untuk memutarbalikkan narasi dari elemen masyarakat, mahasiswa yang menolak UU Cipta Kerja. [Presiden] menyampaikan dengan lugas, jika kita yang berdemonstrasi termakan hoaks dan disinformasi," ujar BEM SI.

Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja sesungguhnya sudah digalakkan kalangan buruh sejak Januari ketika drafnya masih disebut UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), sebelum akhirnya diubah nama oleh DPR.

Namun pascasidang Paripurna, 5 Oktober, eskalasi demo melebar hingga ke kalangan mahasiswa, pelajar, sampai ke Perkumpulan Alumni 212. 11 halte di DKI Jakarta rusak karena kericuhan demonstrasi 8 Oktober. Sejumlah pos polisi pun habis dibakar.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebut masyarakat yang menggelar aksi di tengah pandemi covid-19 sebagai sampah demokrasi.

"Dalam masa pandemi, dia kirim orang untuk berdemonstrasi. Di mana logikanya coba. Jangan jadi sampah demokrasi di negeri ini," serunya di balik pagar Istana Negara ketika memantau aksi unjuk rasa yang dilakukan Aliansi Nasional Anti Komunis (Anak) NKRI.

Mengenang Peristiwa Berdarah Mahasiswa Kendari

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER