Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menolak nota keberatan atau eksepsi terdakwa Andi Irfan Jaya, dalam kasus pemufakatan jahat dan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk kepentingan buronan korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
"Eksepsi ditolak atau tidak diterima. Mengadili, menyatakan keberatan penasihat hukum tidak diterima, memerintahkan sidang dilanjutkan," kata Hakim ketua Ignatius Eko Purwanto saat membacakan amar putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/11).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim keberatan dengan eksepsi Andi Irfan dan tim penasihat hukumnya yang menyebut dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak cermat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain hakim menilai JPU telah menyusun surat dakwaan dengan jelas dan cermat dan sesuai syarat formil, serta memuat unsur-unsur pidana yang didakwakan, sehingga keberatan Andi Irfan ditolak.
Oleh sebab itu, majelis hakim menyepakati sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi akan digelar pada Rabu, 18 November 2020. JPU rencananya bakal menghadirkan saksi dari pihak imigrasi dan PT Garuda Indonesia.
"Dalam diktum keberatan penasihat hukum terdakwa agar majelis hukum membatalkan surat terdakwa tidak dapat diterima atau batal demi hukum," lanjut Ignatius.
Putusan majelis hakim itu menanggapi eksepsi Andi Irfan pada Senin (9/11) lalu. Dalam eksepsinya itu, Andi meminta hakim membebaskan dirinya dari dakwaan dan dibebaskan sepenuhnya, sebab ia menilai dakwaan JPU tidak cermat.
Andi Irfan juga sepenuhnya membantah telah menyerahkan uang USD 500 ribu ke Pinangki dikarenakan tidak ada bukti valid terkait pemberian uang ini.
Dalam kasus ini, Andi Irfan Jaya didakwa dengan dua dakwaan. Pertama mengenai dakwaan soal menjadi perantara suap US$500 ribu yang diberikan Djoko Tjandra kepada Pinangki Sirna Malasari untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung agar membebaskan Djoko dari eksekusi penjara 2 tahun atas korupsi cessie Bank Bali.
Kedua didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan US$10 juta kepada pejabat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung terkait fatwa. Ia didakwa melanggar Pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan dakwaan kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 15 Jo. Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(khr/wis)