Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim turun tangan mengatasi kasus mahasiswa yang diskors karena melaporkan dugaan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Frans Napitupulu, mahasiswa Universitas Negeri Semarang mendapat sanksi skorsing usai melaporkan rektornya ke komisi antirasuah. Koordinator Pusat Aliansi BEM SI, Remy Hastian menyebuk sanksi ini bagian dari pengekangan kebebasan berpendapat di lingkungan akademik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Baru-baru ini represifitas akademik kembali terulang ke sekian kalinya pada Senin, 16 November 2020. Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang melalui SK No. 7677/UN37.1.8/HK/2020 memberikan skorsing selama 6 bulan kepada mahasiswa atas nama Frans Josua Napitu," tulis Koordinator Pusat Aliansi BEM SI Remy Hastian melalui surat terbuka kepada Kemendikbud, Selasa (1/12).
"Aliansi BEM Seluruh Indonesia menuntut Mendikbud Nadiem Anwar Makarim untuk segera mengambil langkah taktis maupun strategis merespons dan menyelesaikan secara tegas berbagai masalah demokratisasi kampus," lanjut dia lagi.
Padahal menurut Remy, daya kritis dan kebebasan akademik mutlak dimilik mahasiswa.
Kebebasan akademik yang dimaksud termasuk kebebasan berekspresi, hingga mencari, menyimpan, mengolah dan menyebarluaskan informasi serta analisa mahasiswa. Akan tetapi belakangan, hal tersebut tak bisa leluasa dilakukan.
Alih-alih mendapat dukungan dan diberi kebebasan berpikir, mahasiswa justru diberi sanksi drop out dan skorsing jika dianggap bertentangan dengan kampus.
"Kondisi kebebasan mimbar akademik di kampus berulang kali diserang, dianiaya, dan dikerdilkan semasa kepemimpinan Mas Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan," ujar Remy.
Aliansi BEM SI mencatat ada beberapa kasus pengekangan kebebasan berpendapat setahun belakangan. Beberapa di antaranya, sanksi drop out kepada dua mahasiswa Universitas 17 Agustus (UTA) Jakarta, sanksi akademik dan kriminalisasi terhadap mahasiswa Universitas Nasional, dan teror terhadap diskusi ilmiah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Selain itu tercatat pula, sanksi drop out pada mahasiswa Universitas Bunda Mulia, skorsing ke 9 mahasiswa Universitas Bina Insan Lubuk Linggau, dan surat imbauan dari Kemendikbud agar mahasiswa tidak turut dalam demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Menurut Remy, hingga kini respons dan komitmen Kemendikbud terkait sejumlah kasus tersebut dinilai tak tegas. Karena itu ia pun meminta Nadiem lebih keras dalam menangani situasi yang ia sebut sebagai 'darurat demokrasi kampus'.
Sebelumnya, kasus ini juga telah diadukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengungkapkan ada indikasi pelanggaran hak berekspresi dalam tindakan Unnes kepada Frans. Itu sebab Komnas HAM bakal menindaklanjuti laporan pengaduan tersebut.
Sedangkan Inspektorat Jenderal Kemendikbud masih menyelidiki potensi pelanggaran aturan yang dilakukan Unnes terhadap sanksi skors yang diberi kepada Frans.
Pihak Unnes sendiri mengklaim sanksi skors tidak ada kaitannya dengan pelaporan yang dilakukan Frans terhadap rektornya, Fathur Rokhman. Dalam pelaporan ke KPK, Fathur Rokhman dilaporkan atas dugaan penggunaan anggaran kampus yang dinilai janggal.
![]() |