Pendidikan daring di masa pandemi Covid-19 yang diterapkan lewat kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ), akhirnya harus merebah karena ketidaksiapan infrastruktur pendidikan.
Tepat 9 bulan sudah pembelajaran jarak jauh (PJJ) di sekolah diterapkan di sebagian besar daerah yang terdampak pandemi. Bukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang memulainya, melainkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Pada Sabtu, 14 Maret, ketika kasus corona di Jakarta masih di angka 2.349 warga, Anies yang tak mau mengambil risiko, memutuskan meniadakan sekolah tatap muka langsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemprov DKI Jakarta memutuskan untuk menutup semua sekolah di lingkungan DKI Jakarta dan akan melakukan proses belajar mengajar jarak jauh. Penutupan sekolah ini berlaku selama dua minggu. Dan kami akan me-review kembali di akhir pekan minggu kedua," kata Anies, ketika itu.
Tak lama setelah DKI mengumumkan menutup sekolah, sejumlah daerah menyusul. Pada Senin (16/3) penutupan sekolah serentak dilakukan Jawa Tengah, Jawa Barat, Aceh, Jambi hingga Nusa Tenggara Barat.
Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Ade Erlangga, mengatakan penutupan sekolah boleh dilakukan asal berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan setempat.
Seiring ramainya daerah berbondong menutup sekolah, Mendikbud Nadiem Makarim kemudian memutuskan membatalkan Ujian Nasional (UN) dan meminta sekolah menerapkan belajar dari rumah atau PJJ secara resmi melalui Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 tertanggal 24 Maret 2020.
"Bagi yang kecewa saya mengerti, saya mohon maaf, tapi ini memang darurat dan tidak bisa diantisipasi siapapun. Kita harus ambil sikap apa yang terpenting," tuturnya, dalam konferensi pers tentang pembatalan UN.
Perubahan metode belajar yang drastis membuat siswa, guru, hingga orang tua kewalahan. Maklum, pembelajaran tatap muka beralih ke belajar via gawai. Sementara, tak semua siswa dan guru punya perangkat infrastruktur yang memadai. Belum lagi, jaringan internet tidak merata di seluruh daerah.
"Masih banyak didapatkan di kalangan orang tua, anak-anak tidak bisa sekolah pagi hari, karena alat komunikasi masih dipakai orang tua bekerja. Akhirnya guru inisiatif belajar online malam hari," ujar Direktur GTK Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Praptono, Selasa (31/3).
Berupaya membenahi permasalahan ini, Nadiem menciptakan program Belajar dari Rumah di TVRI, Jumat (9/4). Program tersebut dimaksudkan bagi siswa yang tak punya fasilitas atau sarana pendukung belajar daring.
Jadi, siswa dari jenjang PAUD hingga SMK bisa belajar secara mandiri dengan menonton siaran di televisi setiap hari. Program serupa juga dibuat di saluran radio.
Permasalahan tak berhenti sampai situ. Banyak siswa dan guru di beberapa daerah yang bahkan tak punya akses kepada jaringan listrik.
"Ada yang bilang tidak punya sinyal televisi. Bahkan ada yang bilang tidak punya listrik. Itu bikin saya kaget luar biasa," aku Nadiem, disiarkan melalui YouTube Kemendikbud, Sabtu (2/5).
Siswa yang bisa belajar daring pun ramai-ramai mengeluhkan kegiatan belajar tak seefektif keadaan normal. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan mengklaim banyak anak stres karena tugas yang menumpuk.
Keluhan ini sudah disuarakan sejak beberapa pekan awal sekolah ditutup. Saat itu, guru sudah mulai menyuarakan agar pemerintah menerbitkan kurikulum darurat, kebijakan yang kemudian baru dituruti 5 bulan kemudian pada Agustus.
Pada kesempatan yang sama, Kemendikbud juga meluncurkan modul belajar cetak yang diberikan untuk sekolah di jenjang PAUD dan pendidikan dasar di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
Nyatanya, distribusi modul cetak ke daerah 3T justru tersendat karena kendala ekonomi dan geografis. Ini dinyatakan Kemendikbud sendiri melalui survei yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan terhadap 1.202 guru di 50 kabupaten/kota di 15 provinsi.
Protes Mahasiswa
Tak hanya kalangan siswa dan guru. Nadiem juga diadang keluhan dari mahasiswa yang menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT) di masa pandemi.
Sepanjang bulan Juni, mahasiswa mulai menyuarakan tuntutannya baik secara daring maupun fisik melalui unjuk rasa di depan gedung kantor Kemendikbud, Jakarta.
Mereka menilai tak seharusnya kampus membebankan besaran UKT normal, padahal pembelajaran dilakukan sepenuhnya daring. Terlebih dengan keadaan ekonomi yang diklaim berdampak pada mayoritas orang tua mahasiswa.
Awal Juni, tagar #MendikbudDicariMahasiswa pun ramai berseliweran di akun Twitter. Mahasiswa meminta Nadiem unjuk diri dan bertindak tegas menyelesaikan permasalahan pendidikan di tengah pandemi.
Nadiem baru muncul tiga pekan kemudian. Ia mengumumkan kebijakan keringanan UKT bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) yang terbukti terdampak ekonomi karena pandemi melalui Permendikbud No. 25 Tahun 2020.
Sayangnya, implementasi kebijakan tersebut tak sepenuhnya mulus di semua kampus. Pada Selasa (4/8), Nadiem dilaporkan ke Komnas HAM karena diduga melanggar HAM atas kebijakan keringanan UKT yang tak dijalankan kampus.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan ada perbedaan antara implementasi yang dilakukan beberapa kampus dengan kebijakan yang diinstruksikan Kemendikbud.
"Misalnya [kementerian] bilang syarat [keringanan UKT] tidak susah kok. Tinggal bilang tidak mampu karena dampak covid lewat surat pernyataan. Tapi di lapangan [mahasiswa mengatakan] ada syarat tambahan," katanya, Rabu (2/9).
Pembukaan Sekolah
Sengkarut permasalahan pendidikan ini akhirnya mengantar Nadiem pada kebijakan yang menuai banyak pro dan kontra, pembukaan sekolah.
Bersama tiga menteri lainnya, menteri koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan, menteri kesehatan, dan menteri dalam negeri, ia mengizinkan pembukaan sekolah dalam tiga tahap.
Pada Senin (15/6), sekolah diizinkan dibuka di zona hijau dengan berbagai syarat dan penerapan protokol kesehatan. Selanjutnya, Jumat (7/8), izin pembukaan sekolah dilonggarkan hingga zona kuning.
Meskipun sudah diizinkan melakukan pembelajaran tatap muka, tak banyak daerah langsung membuka sekolah. Kemendikbud mencatat hingga kini masih ada 80 persen sekolah di zona kuning dan 25 persen sekolah di zona hijau yang masih PJJ.
![]() |
Untuk melakukan pembelajaran tatap muka, sekolah memang harus menyatakan siap melakukan protokol kesehatan dengan mengisi enam daftar periksa. Namun, sampai saat ini masih ada 57,05 persen sekolah yang belum melaporkan diri ke Data Pokok Pendidikan (Dapodik) terkait protokol kesehatan.
Belum sampai semua sekolah di kedua zona itu dibuka, pada Jumat (20/11), Nadiem mengumumkan izin pembukaan sekolah di semua zona mulai Januari 2021. Syaratnya, sekolah dapat izin dari pemerintah daerah dan orang tua.
Bukan hanya sekolah, kampus juga bakal mulai belajar tatap muka dengan kombinasi pembelajaran daring dan luring. Ini menjadi pertama kalinya pendidikan tinggi diizinkan belajar tatap muka sejak pandemi.
Nadiem mengatakan keputusan tersebut ia ambil karena tak ingin dampak dari PJJ berkepanjangan dan menjadi permanen. Kewenangan pembukaan sekolah juga diberikan ke pemda karena dinilai paling mengerti situasi di lapangan.
"Kondisi kebutuhan kecamatan, desa, kelurahan bisa bervariasi. Bisa dalam kota ada kasus infeksi berat. Tapi bisa juga ada desa-desa dan area terpencil yang tidak terdampak," jelasnya.
Keputusan mantan bos Go-jek itu memunculkan respons yang beragam. Jejaring media sosial diramaikan dengan perdebatan antara siswa yang tak sabar menunggu tahun depan atau yang khawatir terkait masalah kesehatan.
Di balik langkah besar memutuskan sekolah dibuka kembali, tudingan Nadiem menyerah karena persoalan PJJ yang rumit juga sempat disinggung beberapa pihak.
"Kemendikbud gagal mengelola itu semua, kemudian menyerah. Menyerahnya dengan menyerahkan ke proses tatap muka. Lalu menyerahkan ke pemda. Itu lagi-lagi menyerah. Angkat tangan, mengibarkan bendera putih," kata Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim, Senin (23/11).
(arh)