Keputusan Mendikbud Nadiem Makarim yang mengizinkan pemerintah daerah memulai kegiatan sekolah tatap muka di seluruh zona risiko penularan Covid-19 mulai Januari 2021, disambut respons yang beragam oleh warga.
Ada orang tua siswa dan guru yang mendukung, namun tetap ada orang tua yang menyuarakan rasa khawatirnya sebab pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia belum berlalu.
Salah satu yang mendukung keputusan itu adalah Yeni, warga Mampang, Jakarta Selatan. Menurutnya, keputusan yang dikeluarkan pemerintah itu pasti sudah melalui banyak pertimbangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau emang sudah boleh masuk, mendingan masuk. Anak juga sudah bilang bosan di rumah, mending di sekolah. Protokol kesehatan diketatin," kata Yeni kepada CNNIndonesia.com, Selasa (24/11).
Ia menjelaskan pertimbangannya mendukung keputusan itu. Pertama, kata dia, selama masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) beberapa bulan belakangan ini, dua anaknya yang duduk di bangku SD dan SMP tidak pernah mendapatkan kuota subsidi belajar dari pemerintah.
Selain itu, aktivitas PJJ menurutnya membuat semangat anak untuk belajar menjadi turun.
"Boros kuota, jujur. 50 ribu cuma 3 hari. Mereka kan google melulu, zoom meeting. Kalau di rumah selain kuota boros anak jadi malas, megang handphone terus," ucap dia.
Lebih lanjut, selain memperketat protokol kesehatan, ia mengusulkan pemberlakuan sistem sif jika memang akan dilakukan proses belajar tatap muka di sekolah.
"Istilahnya nanti dalam sekelas bisa dibagi dua. Misal murid 30, yang masuk pagi 15, siang 15," ucap dia.
![]() |
Tidak hanya Yeni, Aldo, orang tua dengan dua anak yang duduk di bangku SD dan SMP juga turut mendukung keputusan Nadiem yang mengizinkan sekolah tatap muka tersebut.
"Kalau anak kepengennya juga sekolah tatap muka," kata Aldo.
Pria berusia 38 tahun ini menilai pembelajaran dari rumah tidak akan efektif untuk anak jika terus dilakukan. Selain itu, orang tua yang bekerja seperti dirinya juga sulit jika harus selalu mendampingi anak belajar sepanjang hari.
"Protokol kesehatan di sekolah dibagusin, diketatin biar menghilangkan kekhawatiran orang tua," kata warga Jakarta Selatan ini.
Suara orang tua yang mendukung keputusan pembukaan sekolah lagi itu datang dari Sri Wahyuni, warga Padangsidimpuan, Sumatera Utara.
"Setuju, selama sekolah menerapkan protokol kesehatan yang ketat," kata dia saat dihubungi.
Ia menjelaskan alasan mendukung keputusan itu. Menurutnya selama PJJ ini anak tidak dapat belajar secara maksimal, karena penyampaian dan penjelasan materi pelajaran dari guru yang terbatas.
"Apalagi sebagai orangtua yang harus bekerja seharian di luar rumah. Enggak bisa sepenuhnya membimbing dan mengawasi belajar selama PJJ," ucap dia.
![]() |
Di tengah pendapat yang pro tersebut, warga Kabupaten Sleman, DIY, Dias menyatakan ketidaksetujuannya.
"Kalau aku sih kayaknya itu belum setuju ya. Kan itu juga opsional dengan catatan orang tua setuju. Aku sih belum," kata Dias saat dihubungi.
Ibu dua siswa SD ini mengatakan pembukaan sekolah untuk tingkat sekolah dasar memiliki banyak risiko. Pasalnya, anak belum memiliki kesadaran yang tinggi untuk patuh menerapkan protokol kesehatan
"Misal untuk jaga jarak, apalagi nanti kalau misal ketemu temannya yang dekat gitu, bisa terjadi kontak fisik. Mereka pikirannya yang penting senang aja," kata dia.
Ketidaksetujuannya itu, kata Dias, juga karena berita yang pernah dibaca perihal kasus penularan Covid-19 di suatu sekolah yang telah lebih dulu menerapkan pembelajaran tatap muka.
"Repot memang kalau dibiarkan terus menerus PJJ, kita enggak tahu kalau enggak dicoba. Tapi sementara kalau untuk Januari, belum setuju," ujar Dias.
![]() |
Yustika, warga Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan mengizinkan sekolah buka pada Januari.
Ketidaksetujuannya itu muncul karena lokasi sekolah anaknya yang berada dekat pelabuhan yang masih rawan penularan Covid-19. Ia menjelaskan, potensi penularan itu karena banyak kapal barang yang berasal dari zona merah bersandar.
"Ini kan banyak kapal yang masuk, belum setuju," kata dia.
Ia menjelaskan, beberapa waktu lalu, sebenarnya anaknya sudah mulai sekolah tatap muka, namun setelah ada kasus warga setempat yang meninggal Covid-19, pembelajaran pun kembali dilaksanakan secara jarak jauh.
"Kemarin itu belum ada kejadian (Covid-19) jadinya sekolah. Setelah ada yang meninggal, langsung minta izin untuk tidak sekolah, terus sekolahnya langsung diliburkan lagi," ucap dia.
Sementara itu, selain orang tua siswa, sejumlah guru juga mendukung keputusan pemerintah itu. Salah satunya Fandi Puji. Guru di salah satu SMA swasta di Jakarta.
"Kalau saya setuju ya, tapi asal tidak menghilangkan dan mengenyampingkan protokol kesehatan. Karena, tidak semua sekolah mampu untuk menyediakan protokol kesehatan," kata dia.
Sebagai tenaga pendidik, ia menyebut PJJ yang dilakukan beberapa bulan ini memiliki beberapa kendala.
"Yang namanya mengajar itu kan tidak hanya memberikan materi saja, tapi ada yang namanya rasa, menciptakan karakter, mendidik sikap. Di PJJ ini resonansi tidak ada, kayak hanya memberikan materi. Kalau kita ketemu langsung kan biasanya bisa saling bercanda, ada interaksi," ucap dia.
Lebih lanjut, jika memang sekolah tatap muka dilakukan, ia menyarankan kepada sekolah-sekolah untuk membuat sistem sif.
"Misalkan satu kelas ada 40. Hari Senin 20 masuk, setengahnya enggak masuk, tapi nanti dengan fokus on camera atau web. Sama kayak PJJ, cuma ada yang di sekolah," ucap dia.
![]() |
Guru di salah satu SMK di wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Eka Ilham juga mendukung keputusan mengizinkan sekolah dibuka itu.
Meskipun demikian, ia berharap agar pemerintah tidak hanya sekadar mengeluarkan kebijakan. Menurutnya, harus ada sistem pengawasan dan kontrol terkait penerapan protokol kesehatan oleh pemerintah.
"Harus ada yang namanya fungsi pengawasan, kontrol. Ketika sekolah tidak siap, tidak usah diizinkan," kata dia.
Eka Ilham menjelaskan alasannya mendukung kebijakan pemerintah itu karena merasakan banyak kendala yang dihadapi murid-muridnya ketika proses PJJ berlangsung. Kendala itu mulai dari ketersediaan gawai, kuota, hingga jaringan internet.
"Karena kami khususnya di pedesaan, 99 persen siswa anak petani. Jadi secara ekonomi itu salah satu masalahnya. Untuk beli pulsa aja mereka enggak sanggup, atau banyak siswa tidak ada gawai. Misal sudah punya gawai dan pulsa, jaringan yang jadi persoalan," kata Eka Ilham.
"Jadi itulah landasan saya mengapresiasi pembukaan sekolah pada Januari dengan syarat yang saya sebutkan tadi," imbuhnya.
![]() |
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sebelumnya mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021.
"Perbedaan besar di SKB sebelumnya, peta zonasi risiko tidak lagi menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka. Tapi Pemda menentukan sehingga bisa memilih daerah-daerah dengan cara yang lebih detail," ungkap Nadiem dalam konferensi pers daring dikutip dari akun Youtube Kemendikbud RI, Jumat (20/10).
Nadiem sekaligus menegaskan keputusan pembukaan sekolah tatap muka diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua melalui komite sekolah.