Tanaman bambu yang menjulang setinggi tujuh meter menyambut rombongan warga dan pendamping perhutanan sosial saat memasuki Hutan Adat Puyang Sure di Desa Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Bunyi sesiar, bahasa lokal tonggeret, saling bersahutan di tengah hutan yang masih memiliki tutupan dengan kerapatan tinggi di dataran 900 meter di atas permukaan laut tersebut.
Binatang endemik seperti monyet bergelatungan di sekitar bambu, pohon kayu seru, kemenyan, rotan, dan durian banyak ditemui di lahan seluas 42,7 hektare tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanah Peramunan Puyang Sure baru saja mendapatkan SK perhutanan sosial dengan skema hutan adat dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Maret 2019.
Namun, penyerahan secara resmi belum dilakukan karena masih menunggu diberikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo kepada masyarakat adat. Saat ini masyarakat baru berpegangan pada SK nomor 3758/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/3/2019 untuk mulai menggarap Rencana Tata Kelola Hutan Adat (RTKHA).
Konsep wanatani (agroforestry) akan diusung dengan memadukan ekowisata di hutan adat. Bentang alam yang ada di hutan akan dipercantik menjadi titik-titik swafoto untuk menjaring wisatawan. Seperti pengembangan penangkaran rusa, kebun bunga, kolam retensi untuk sebagian jadi pemancingan, outbound, dan jalur sepeda.
Beberapa lahan yang masih ditumbuhi tanaman endemik seperti bambu, kemenyan, seru, dan medang akan dijadikan wilayah konservasi agar hutan tetap asri. Beberapa tanaman buah seperti durian, petai, dan lengkeng dijadikan kebun yang bisa dipetik buahnya setiap saat.
Dari tanaman endemik lain yang biasa tumbuh di lanskap Bukit Barisan, kemenyan merupakan tanaman terbanyak yang ada di hutan adat tersebut.
Dari total 42,7 hektare hutan adat, hamparan pohon kemenyan di hutan tersebut sekitar lima hektare. Namun warga Penyandingan tidak pernah mengeksploitasi kemenyan sejak awal desa tersebut berdiri sekitar tahun 1800-an.
Setelah kemenyan, terdapat rotan yang tumbuh secara acak. Rotan tersebar di seluruh kawasan hutan adat dan tidak terlokalisir. Sementara tanaman bambu jenis betung tumbuh di sekitar dua aliran sungai yang mengalir di hutan adat, Ayek Betung dan Bigha. Ayek berarti air dalam bahasa lokal.
Pohon seru dan medang pun menyebar di seluruh kawasan hutan adat.
Sayangnya, pohon seru dan medang dengan diameter besar tidak dapat ditemui lagi karena kebanyakan sudah dimanfaatkan warga untuk kebutuhan membangun rumah kayu. Saat ini pohon seru dan medang yang bisa ditemui memiliki diameter batang maksimal 30 sentimeter.
Masyarakat bersama pendamping perhutanan sosial dari Hutan Kita Institute (HaKI), LSM lingkungan, saat ini tengah melakukan pemetaan wilayah dan potensi yang bisa dikembangkan dari hutan adat tersebut.
Kepala Desa Penyandingan M Hadi Brata ingin mengelola hutan tersebut menjadi destinasi wisata. Keinginannya tersebut diamini oleh seluruh masyarakat dengan menggagas Kelompok Usaha Hutan Adat (KUHA) yang bertanggung jawab terhadap masyarakat hutan adat pada 16 Desember 2020.
Pejabat desa terdahulunya pun, ujar Hadi, banyak mengeksploitasi pohon kayu di kawasan hutan adat untuk di jual demi keuntungan pribadi. Sementara masyarakat tidak diperbolehkan.
"Kalau sekarang masyarakat boleh, bebas ambil hasil hutan di sana. Tapi secukupnya dan bukan untuk dijual. Setelah ada SK ini pun, setiap hasil hutan yang diambil nantinya masyarakat diwajibkan untuk menanamnya kembali terutama pohon buah-buahan," ungkap Hadi.
Peramunan merujuk pada kata 'ramu', yang berarti masyarakat boleh mengeksploitasi secara terbatas tanaman yang ada di hutan adat tersebut untuk diramu.
Pemanfaatan hasil hutan pun hanya diperbolehkan untuk keperluan sehari-hari, seperti untuk membangun bekerja, membangun dangau atau pondokan di tengah kebun dalam bahasa lokal, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Bukan untuk diperjual-belikan.
Sementara nama Puyang Sure diambil dari leluhur masyarakat Desa Penyandingan, Depati Sure. Puyang berarti leluhur dalam bahasa lokal.
Makam Depati Sure bersama istrinya, Mursinap, berada di ujung batas Desa Penyandingan. Lokasi kuburan tersebut saat ini dimanfaatkan sebagai tempat pemakaman umum warga. Nisan Depati Sure bertarikh 1813-1854.
Namun pada 2016 lalu, Hadi menjelaskan, ditemukan tiga makam kuno yang hanya ditandai dengan batu-batu di kawasan Ataran Blambangan yang kini merupakan daerah perkebunan kopi milik warga. Lokasinya berdekatan dengan hutan adat.
Hingga akhirnya masyarakat mulai mengetahui bahwa satu dari tiga makam tersebut merupakan peristirahatan terakhir dari Raden Dewantoro alias Puyang Senage atau Ketib, leluhur masyarakat di Desa Penyandingan.
![]() |
Sementara dua makam lain yakni pengawal dan anak Puyang Ketib. Puyang Sure, diyakini oleh masyarakat adat, sebagai keturunan dari Puyang Ketib. Tidak diketahui secara pasti masa hidup Raden Dewantoro tersebut.
Suku Semende yang berada di kawasan tersebut diyakini memiliki hubungan kekerabatan dengan keturunan Kerajaan Belambangan di Banyuwangi, Jawa Timur. Para pelarian dari Kerajaan Blambangan tersebut mulai bermukim di dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan. Pemukiman kuno di kawasan tersebut adalah Desa Muara Danau.
Saat ada konflik antarmasyarakat di Muara Danau, Raden Dewantoro mulai pergi dan bermukim di kawasan yang saat ini dinamakan Ataran Blambangan. Ataran berarti hamparan sementara Blambangan mengambil nama kerajaan asal muasal mereka.
Hingga akhirnya keturunannya, Puyang Sure mendirikan desa bernama Penyandingan. Nama penyandingan bermakna bersandingan, yang artinya untuk menyandingin Desa Muara Danau yang berbatasan di sebelah selatan Desa Penyandingan.
Hutan Adat Puyang Sure yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Desa Penyandingan, berbatasan langsung dengan kebun kopi milik warga Muara Danau. Ataran Blambangan pun persis berbatasan dengan Desa tertua di kawasan Semende tersebut.
Saat ini masih ada peninggalan-peninggalan dan artefak pada zaman dahulu berupa dokumen beraksara Kaganga yang ditulis di kulit pohon gaharu, serta peninggalan lain yang masih dijaga oleh masyarakat yang diyakini sebagai keturunan langsung dari para puyang tersebut.
"Kalau perlu, kami ingin peninggalan-peninggalan itu diteliti, apa benar peninggalan zaman dahulu. Belum pernah itu diteliti. Kalau benar itu artefak, jadi nilai tambah untuk rencana hutan desa kami," kata Hadi.
Beberapa tahun lalu, Hadi mengungkapkan, masih ada rumah-rumah kayu berukir yang ada di Desa Muara Danau dan Penyandingan. Namun sayang pemiliknya menjual rumah tersebut yang dibeli oleh kolektor di Bali.
Sementara peninggalan yang diklaim beraksara Kaganga di kulit pohon gaharu, alas duduk, dan alas makan masih tersimpan oleh juru kuncinya yang tinggal di Muara Danau dan Perapau, desa tetangga di bagian utara Penyandingan.