Hutan adat seluas 42,7 hektare tersebut kaya akan tanaman kemenyan. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan LSM lingkungan Hutan Kita Institute (HaKI), sedikitnya terdapat lima hektare tanaman kemenyan yang terlokalisir. Tanaman kayu lainnya yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat yakni bambu, medang (Castanopsis indica), rotan, dan seru.
Tutupan hutan masih memiliki kerapatan tinggi sehingga flora dan fauna kawasan tersebut pun kaya. Meskipun dikelilingi kebun kopi, tidak ada sedikitpun masyarakat merambah ke kawasan hutan adat.
Hutan adat peramunan menjadi habitat beberapa satwa liar seperti rusa, pelanduk napu, simpai, beruang madu, landak, trenggiling, luwak, dan beberapa jenis burung. Burung yang berada di sana merupakan endemik hamparan Gunung Jambul Patah yang termasuk ke dalam lanskap Taman Nasional Bukit Barisan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendamping perhutanan sosial dari HaKI, Bejoe Dewangga mengatakan SK Hutan Adat yang diterima Desa Penyandingan menjadi legitimasi untuk bisa mengelola hutan demi kesejahteraan masyarakat namun tetap berorientasi pada pelestarian lingkungan.
Pihak HaKI mengawal SK Hutan Adat Desa Penyandingan sejak pengusulan pada 2018 lalu. Awalnya, masyarakat mengusulkan 49 hektare yang masuk ke dalam kawasan hutan adat.
Namun setelah verifikasi teknis (vertek), hanya 42,7 hektare yang masuk ke dalam SK. Setelah pengusulan dan vertek, saat ini sudah masuk ke dalam tahapan ketiga yakni penyusunan Rencana Tata Kelola Hutan Adat (RTKHA).
"Kami membantu masyarakat untuk memetakan gambaran umum kondisi wilayah hutan adat, tata telak, mempertegas tapal batas, memetakan potensi, serta merancang visi/misi lembaga masyarakat hutan adat. Harus ada target, sasaran, dan capaian dari masyrakat itu sendiri dalam pengelolaan hutan adat yang rencananya akan berbasis wisata," ujar Bejo.
Perancangan RTKHA ini ditargetkan akan rampung selama tiga bulan sejak Desember 2020. Setelah RTHA ditandatangani dan Kelompok Usaha Hutan Adat (KUHA) terbentuk, masyarakat sudah mulai bisa mengelola.
Memulai rencana wisata di kawasan tersebut memiliki tantangan tersendiri. Masyarakat harus membentuk pola pikir yang ramah wisatawan serta menggaet pendanaan secara mandiri. Pendanaan tidak akan serta-merta datang setelah SK dikeluarkan.
Berdasarkan gambaran umum, wisata hutan adat Desa Penyandingan bisa dikembangkan dengan konsep jasa lingkungan, wanatani, atapun ekowisata.
"Pertama-tama memang masyarakat dituntut swadaya dulu. Untuk awalan dan memancing sponsor-sponsor yang bisa turut membantu mengembangkan wisata di sini. Dari Muara Enim kota terdekat, akses mudah dan jalan bagus. Setelah ditetapkan sebagai objek wisata, tetap tidak boleh merubah bentang alam terlalu besar, tidak menebang pohon karena orientasinya tetap melestarikan lingkungan," kata dia.
Secara umum, Desa Sukarejo, Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu Terawas, Kabupaten Musirawas merupakan perhutanan sosial pertama di Sumsel yang mengusung konsep wisata.
Namun perhutanan sosial Desa Sukarejo berstatus sebagai hutan kemasyarakatan. Sementara Desa Penyandingan merupakan perhutanan sosial dengan status hutan adat pertama yang hendak dikelola dengan konsep wisata.
Dengan adanya hutan adat wisata pertama di Sumsel tersebut, kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani kopi diharapkan bisa lebih terangkat. Desa Penyandingan pun bisa menjadi percontohan bagi pengelolaan perhutanan sosial lain yang hendak mengusung konsep wisata alam.
(asa/asa)