Jakarta, CNN Indonesia --
Para epidemiolog membeberkan ketiadaan rencana penanganan pandemi Covid-19, kebijakan yang berubah-ubah hingga glorifikasi yang tak perlu, menjadi pangkal soal tak kunjung terkendalinya penyebaran infeksi virus corona di Tanah Air.
Buah dari semua itu, laju penyebaran Covid-19 di Indonesia pun belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Bahkan kasus positif Covid-19 di Tanah Air telah menembus 1.012.350 orang per Selasa (26/1).
Salah satu sebab misalnya, diungkap epidemiolog asal Universitas Indonesia Pandu Riono. Ia mengatakan lonjakan kasus Covid-19 tersebut akibat pemerintah yang sejak awal tidak serius menyusun rencana menghadapi pandemi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bayangkan, negara yang begitu besar, ada sistem pemerintahan, ada Bappenas, ada kementerian-kementerian, ada DPR, tapi kita enggak punya rencana atau plan sama sekali," ujar Pandu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (26/1).
Pandu menjelaskan, salah satu rencana yang harus dipunya pemerintah adalah mengukur sejauh mana keberhasilan pelaksanaan 3T berupa testing, tracing, dan treatment. Tapi selama ini menurutnya pemerintah justru terkesan abai akan hal tersebut.
Ia juga menilai selama ini pemerintah salah langkah menghadapi pandemi, lantaran kebijakan penanganan wabah dijalankan beriringan dengan pemulihan ekonomi. Padahal, menurut Pandu, kedua hal tersebut tidak bisa dilaksanakan beriringan.
"Masalahnya kalau mengatasi pandemi ya prioritaskan mengatasi pandemi, tapi bukan berarti kalau kita mengatasi pandemi kita melupakan ekonomi," ujar dia.
Pandu pun mengkritik pemerintah yang menangani pandemi dengan membuat sejumlah lembaga ad hoc seperti satuan tugas hingga Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).
Ia berpendapat, seharusnya penanganan pandemi bisa dilakukan tanpa perlu membuat banyak lembaga ad hoc. Pandu menilai keberadaan lembaga-lembaga ad hoc itu justru tak dibutuhkan, dan pemerintah bisa bekerja sesuai komando presiden.
"Semua kementerian harus langsung menangani dan dikoordinasikan oleh kementerian koordinasi dan dipimpin langsung oleh bapak presiden, baru kita lebih optimal dan efektif, karena kita dapat melakukan perubahan," jelas Pandu.
"Yang punya wewenang kan masing-masing kementerian, bukan satgas, gugus tugas, mereka cuma bisa ngomong aja, tapi untuk eksekusi enggak bisa," imbuh dia lagi.
Berdasarkan laman worldometer, sejuta kasus positif tersebut membuat Indonesia kini menempati posisi ke-19 daftar negara dengan jumlah kasus positif terbanyak di dunia. Bahkan, Indonesia merupakan negara ASEAN satu-satunya dalam daftar tersebut.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Prunomo menilai, kasus positif Covid-19 yang sudah menembus angka satu juta ini belum puncak pandemi. Menurut dia, potensi penyebaran virus corona di Indonesia masih akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Windhu menjelaskan, kondisi tersebut bisa berlangsung lama jika kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi kerap berubah-ubah. Sejumlah pakar, kata dia, tidak dapat memprediksi puncak kasus Covid-19 jika kebijakan terus berubah.
"Kalau kita lihat, kebijakan terus berubah-ubah, artinya tidak jelas fokus kemana. Maka tentu kita tidak bisa prediksi dengan tepat," kata Windhu.
Sementara itu, Epidemiolog Universitas Griffith, Dicky Budiman, sejuta kasus itu bukan merupakan data yang sesungguhnya. Ia meyakini, saat ini jumlah kasus positif di Indonesia bisa jadi tiga kali lipat dari data yang dipaparkan pemerintah.
Menurut dia, hal tersebut disebabkan kapasitas testing Indonesia yang buruk. Dibandingkan dengan negara lain yang masuk dalam daftar 20 negara dengan jumlah kasus tertinggi, kapasitas testing Indonesia masih jauh di bawah mereka.
"Ini artinya ada pesan serius bahwa ada banyak kasus yang selama ini tidak terdeteksi, ini bukan hal yang bisa dianggap enteng, karena mayoritas kasus itu akan jadi trigger untuk transmisi lanjutan akibat tidak terdeteksi," ujar Dicky.
Sejak awal tahun 2021, pemerintah terus menggaungkan program vaksinasi di tengah lonjakan kasus yang masih terjadi. Menurut Windhu, seharusnya pemerintah tidak terlalu mengglorifikasi program vaksinasi Covid-19.
"Kita tidak perlu mengglorifikasi vaksinasi. Apa adanya aja. Vaksinasi jelas adalah program pencegahan, sama halnya dengan 3M, pencegahan primer yang bentuknya proteksi khusus," ujar Windhu.
 Infografis perjalanan sejuta kasus Covid-19 di Indonesia. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Menurut dia, program vaksinasi untuk membentuk kekebalan komunal atau herd immunity membutuhkan waktu yang cukup lama. Apalagi pemerintah menargetkan 70 persen masyarakat Indonesia atau sekitar 180 juta yang menerima vaksinasi Covid.
Belum lagi sejumlah kendala mengenai tempat penyimpanan dan stok vaksinasi itu juga belum bisa dipastikan pemerintah. Oleh sebab itu, Windu meminta pemerintah tidak terlalu mengandalkan vaksinasi sebagai upaya utama menyetop penyebaran virus corona.
"Vaksin tentu tidak bisa diandalkan, dia hanya menjadi pendamping dan pamungkas. Tapi tanpa vaksin pun kita bisa. Contoh negara lain, Singapura, Australia, Selandia Baru, Taiwan, China, mereka sudah terkendali beberapa bulan lalu. Vaksinnya sudah ada belum? Belum, tapi sudah selesai," ujarnya.
Dicky Budiman juga mengatakan bahwa pemerintah harus tetap meningkatkan kapasitas testing dan tracing meski program vaksinasi berjalan. Sebab, kata dia, bukan tidak mungkin lonjakan kasus terjadi di tengah program vaksinasi.