Pleidoi Djoko Tjandra: Jika Benar Penjahat, Hukumlah Saya
Pengusaha Djoko S Tjandra meminta majelis hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) berpegang teguh pada fakta-fakta persidangan sebelum menjatuhkan hukuman. Ia meminta hakim mengenyampingkan opini publik yang meminta dirinya dihukum seberat-beratnya.
Djoko mengaku siap dihukum apabila terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa suap sebagaimana dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum.
"Jika benar saya adalah seorang penjahat, pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwa dan dituntut penuntut umum, maka hukumlah saya," ujar Djoko Tjandra saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (15/3).
"Tetapi jika majelis hakim Yang Mulia melihat dengan mata hati nurani bahwa saya adalah seorang lelaki tua berusia 70 tahun yang punya harapan dan kerinduan untuk pulang ke tanah air, tetapi telah menjadi korban penipuan sebagaimana yang saya alami dan rasakan sendiri, maka bebaskanlah saya," imbuh pria yang pernah menjadi buronan keluar negeri selama lebih dari satu dekade itu.
Djoko merasa kerinduannya untuk pulang ke Indonesia telah dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menipu dirinya. Djoko diketahui telah berada di luar negeri selama 11 tahun, sebelum akhirnya ditangkap pada tahun 2020 di Malaysia. Saat itu Djoko berstatus buronan kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali. Ia diketahui sebelumnya telah berada di luar negeri sehari ketika vonis PK yang diajukan jaksa keluar pada 11 Juni 2009.
"Harapan dan kerinduan saya untuk pulang ke tanah air Indonesia telah mengantar saya pula ke kursi terdakwa ini sehingga menjadi korban dari harapan dan kerinduan itu sendiri, karena termakan janji-janji, iming-iming yang ternyata tidak lebih dari suatu penipuan belaka," ujar dia.
Menurut Djoko, pemberian uang sebesar US$500 ribu dari janji US$1 juta kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari; advokat yang pernah menjadi kuasa hukumnya, Anita Kolopaking; dan Andi Irfan Jaya bukan merupakan penyuapan. Ia menilai dana-dana tersebut adalah uang muka consultant fee dan lawyer fee.
Sebab, ia mengklaim ditawarkan bantuan melalui fatwa Mahkamah Agung (MA) agar bisa kembali ke Indonesia, tanpa harus menjalani eksekusi pidana 2 tahun penjara terlebih dahulu atas perkara hak tagih Bank Bali.
Pun dengan pemberian uang Rp10 miliar kepada pengusaha Tommy Sumardi yang menurut dia berdasarkan kesepakatan atas bantuan yang diberikan. Djoko mengatakan memilih Tommy karena direkomendasikan oleh sahabat baiknya sekaligus besan Tommy yaitu eks Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak.
Djoko mengklaim tidak tahu-menahu uang tersebut digunakan Tommy untuk menyuap dua jenderal polisi guna mengecek status red notice dan menghapus daftar pencarian orang (DPO) atas nama dirinya.
"Saya tidak tahu untuk apa saja Tommy Sumardi menggunakan fee yang saya bayarkan tersebut. Itu jadi urusan dan tanggung jawab Tommy Sumardi. Kewajiban saya hanya membayar biaya sebesar Rp10 miliar yang kami sepakati," kata dia yang pernah memiliki kewarganegaraan Papua Nugini namun bisa merekam e-KTP hingga paspor saat akan mengajukan PK lagi pada medio 2020 silam.
Djoko menambahkan, tuntutan empat tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan oleh penuntut umum sangat berat. Sebab, ia mengatakan tuntutan tersebut hanya berdasarkan surat dakwaan yang lemah pembuktian hukumnya.