Jakarta, CNN Indonesia --
Keledai saja tak jatuh di lubang yang sama sampai dua kali. Pepatah itu bermaksud mengingatkan, bahwa sebodoh-bodohnya orang, ia tak akan mengulang kesalahan sebelumnya.
Di masa pandemi corona, pepatah yang pertama kali dipopulerkan penulis Yunani Homer dan Aesop, itu kembali dilontarkan Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas. Dia mengingatkan pemerintah agar konsisten dalam menerapkan kebijakan untuk menanggulangi Covid-19, terutama soal rencana pemerintah untuk memperbolehkan mudik.
Kata Darmaningtyas, kebijakan pemerintah tidak melarang mudik tahun ini menunjukkan inkonsistensi dalam memerangi covid-19. Menurutnya pemerintah harus tegas sejak awal untuk melarang mudik lebaran mengingat masalah pandemi belum selesai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Darmaningtyas meminta pemerintah belajar dari kondisi libur panjang di 2020 yang kerap menyebabkan lonjakan kasus baru.
"Masa pemerintah tidak belajar dari kasus tersebut? Keledai saja tidak mau terantuk pada batu yang sama, masak pemerintah mau terantuk pada batu yang itu-itu saja sih," kata Darmaningtyas.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sempat memberikan sinyal lampu hijau soal mudik. Dia mengatakan bahwa pemerintah tidak melarang warga untuk mudik lebaran esok. Kebijakan itu berbeda dari tahun 2020 lalu, kala itu pemerintah tegas menggunakan frasa dilarang mudik.
Budi bakal menjamin pihaknya membuat mekanisme protokol kesehatan ketat yang disusun bersama Satuan Tugas Penanganan Covid-19 untuk tahun ini, namun upaya itu dinilai masih gamang. Sebab, mudik yang identik dengan mobilitas warga disebut sebagai ancaman terjadinya peningkatan kasus covid-19 di Indonesia.
Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo lantas menilai kebijakan pada pelonggaran mobilitas warga itu sebagai sebuah ancaman yang besar. Bila melihat riwayat kenaikan kasus covid-19 setelah libur panjang, Windhu yakin libur lebaran disertai tak ada larangan mudik akan membuat lonjakan kasus covid-19 terjadi di tanah air.
Windhu pun mengaku sedari awal sudah tak menaruh harapan banyak perihal penanganan pandemi covid-19 di Indonesia. Namun dengan kebijakan anyar itu, Windhu tak habis pikir mengapa 'ladang' kenaikan kasus covid-19 malah direlaksasi oleh pemerintah.
"Kita lihatnya mudah, antara Mei tahun lalu menjelang lebaran itu mudik dilarang yang boleh pulang kampung. Padahal itu kasus harian 10 kali lebih rendah dari sekarang, dan itu dilarang. Sekarang kasus harian per hari 10 kali lipat malah tidak dilarang, itu saja dari logika bingung begitu kan," kata Windhu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/3).
Windhu meminta pemerintah masih tetap fokus pada upaya pengendalian pandemi dari sisi sektor kesehatan, sebab hingga saat ini kasus covid-19 di Indonesia belum terkendali, meski terjadi penurunan kasus dalam beberapa pekan terakhir ini. Justru dengan penurunan itu, Windhu tak ingin upaya-upaya yang telah dilakukan akan menjadi sia-sia.
Adapun bila pemerintah berniat melonggarkan aktivitas yang berhubungan dengan mobilitas warga, maka pemerintah, kata Windhu, harus mengikuti anjuran dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) soal positivity rate.
WHO menyebut kondisi negara telah aman bila positivity rate berada di angka 0-2 persen. 2-5 persen berarti cukup aman, 5-19 persen dapat dikatakan berisiko, dan diatas 20 persen disebut sangat berisiko. Sedangkan di Indonesia, hingga saat ini positivity rate harian rata-rata berada di 15 persen, dan bahkan mencapai 40,07 persen pada 18 Februari lalu.
"Jadi di tengah-tengah kita yang masih berisiko dan malah sempat berisiko tinggi, kita kok mau melonggarkan aktivitas yang tidak esensial seperti mudik. Itu aneh, saya tidak mengerti. Jadi wajah pemerintah ini kita tidak tahu, maunya apa? mengendalikan pandemi atau tidak?," kata dia.
Tak hanya itu, Windhu pun menyoroti upaya tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) yang dilakukan pemerintah hingga saat ini belum optimal. Malah di tengah kurangnya usaha itu, Windhu menyebut kondisi saat ini seluruh pihak fokus pada program vaksinasi.
Sedangkan untuk jalannya program vaksinasi, Windhu melihat laju vaksinasi sangat lambat. Dari target 181,5 juta penduduk Indonesia yang akan divaksin, baru 4.705.248 orang yang mendapat suntikan pertama, dan 1.876.140 orang yang rampung mendapat suntikan kedua.
Itu artinya, baru 3,62 orang yang mendapat suntikan dosis pertama, sementara dapat dikatakan baru 1,03 persen dari total sasaran vaksinasi pemerintah yang rampung menerima vaksin.
"Jadi kita semua masih jelek, vaksinasi lamban sekali, testing juga kurang optimal, kepatuhan masyarakat jelek karena jaga jarak turun jadi 30 persen saja sekarang," jelasnya.
Dengan seluruh kondisi dan kebijakan yang ditempuh pemerintah, Windhu bersoloroh dan menduga bahwa pemerintah memang sengaja menuju herd immunity secara alami tanpa perantara vaksin.
Herd immunity merupakan kekebalan kelompok terhadap virus. Artinya, bila mayoritas orang atau lebih dari 70 persen penduduk Indonesia terpapar covid-19, maka mereka mampu menciptakan kekebalan sendiri.
Namun upaya itu sangat berisiko tinggi sebab akan melahirkan banyak kasus kematian, utamanya bagi mereka yang memiliki imunitas rendah seperti para kelompok rentan terpapar covid-19, yakni warga lanjut usia.
"Apa memang pemerintah sengaja membuat herd immunity secepatnya melalui infeksi, artinya kalau tertular semua dengan mobilitas tinggi akhirnya akan tertular, dan semua mencapai herd immunity, tapi kematian jelas tinggi. Jangan-jangan strateginya begitu, diam-diam, ya karena semua dilonggarkan," selorohnya.
Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman juga menilai pemerintah serba tidak konsisten dalam menangani wabah global di Indonesia. Ia juga melihat, wajah pemerintah yang lebih menitikberatkan penanganan pandemi melalui sektor ekonomi mulai terlihat pada tahun ini.
Selain relaksasi mudik yang akan membantu perputaran uang dan penambahan produk domestik regional bruto (PDRB) yang signifikan, Dicky menyebut sasaran vaksinasi tahap dua yang menyasar pelaku dunia pariwisata pun menjadi sinyal bahwa pemerintah ingin segera membuka keran ekonomi secara perlahan.
"Sejak awal memang sering tidak konsisten. Saya kemarin sempat oke dengar Pak Menteri akan tingkatkan tracing 1:30, testing, meski belum kelihatan. Nah, ini lalu tiba-tiba pemerintah akan membuka akses mudik yang berisiko menimbulkan lonjakan kasus, jadi maunya bagaimana?," kata Dicky kepada CNNIndonesia.com, Kamis (18/3).
Dicky lantas menilai, sudah sepatutnya pemerintah tetap mengkaji aspek-aspek epidemiologis dalam menentukan kebijakan. Relaksasi mudik pada tahun ini pun menurutnya akan membawa dampak lonjakan kasus yang tidak main-main, utamanya di tengah temuan mutasi virus SARS-CoV-2 di beberapa negara, yang juga telah teridentifikasi di Indonesia.
Dicky pun menyoroti frasa pemerintah yang tak lantang mengatakan perizinan mudik atau larangan mudik, alih-alih tak bisa melarang. Ia juga meminta pemerintah seharusnya tegas melarang agar tak timbul perkiraan covid-19 sudah aman di pikiran masyarakat.
"Jadi harus ada larangan mudik ya, karena agar masyarakat tahu bahwa ini situasi belum normal. Bahwa ternyata masyarakat tetap ada yang mudik, ya itu diperkuat lagi jaring pengamanannya," kata Dicky.
"Pemerintah dalam narasinya juga seolah tidak mau disalahkan, dan tidak mau terlihat pro sekali ke ekonomi," imbuhnya.
Dicky pun yakin bahwa lampu hijau mudik akan menimbulkan peningkatan kasus covid-19 di Indonesia. Meskipun misalnya laporan harian pemerintah tak menunjukkan peningkatan kasus, namun ia yakin penularan dan pertambahan kasus akan masif terjadi, seolah menjadi fenomena gunung es. Sebab, mobilitas warga diketahui sebagai salah satu cara ampuh bagi virus untuk menyebar.
Ia juga menambahkan, meski kasus dilaporkan tak melonjak, namun masyarakat pada akhirnya akan menjumpai kabar kematian tersiar di wilayahnya masing-masing.
"Secara sains sudah tidak bisa dibantah lagi kasus akan memburuk. Hanya saja konteks Indonesia, hal itu belum tentu terlihat akibat testing dan tracing rendah. Yang jelas angka kesakitan dan kematian akan tiba-tiba naik," jelas Dicky.
Namun demikian, apabila pemerintah tetap ngotot untuk tak melarang mudik, maka Dicky meminta pengawasan di lapangan harus semaksimal mungkin. Ia memberi contoh, misalnya seorang warga A, akan mudik, maka A harus melaporkan keberangkatannya ke fasilitas kesehatan terdekat.
Begitu pula saat A sampai di kampung halaman, maka ia wajib melaporkan kedatangannya sekaligus kondisinya kepada petugas fasilitas pelayanan terdekat. Upaya itu perlu dilakukan, sehingga pemantauan warga benar-benar terjadi di lapangan.
Selain itu, Dicky mewanti-wanti agar pemerintah tidak memberikan kebijakan pemotongan harga alias diskon transportasi publik semasa tidak ada larangan mudik. Hal itu menurutnya sama saja akan membuat warga semakin antusias untuk pulang ke kampung halamannya saat lebaran nanti.
"Jangan sampai ada diskon kereta, pesawat, karena artinya sama saja, malah seakan mendorong masyarakat untuk mudik," katanya.
CNNIndonesia.com kembali menilik data harian yang dilaporkan Satgas Penanganan Covid-19. Terlihat memang terdapat lonjakan kasus hingga 60-93 persen pasca dua pekan libur Idul Fitri 23-24 Mei 2020 lalu.
Pada Mei pekan pertama Mei kasus covid-19 berada di 2.658 kasus dalam sepekan. Pekan kedua meningkat menjadi 3.230 kasus, pekan ketiga 4.156 kasus, dan mengalami kenaikan lagi pada keempat yakni 4.376 kasus dalam sepekan.
Kemudian pada pekan pertama Juni, kasus meningkat hingga 4713 dalam sepekan. Disusul pekan kedua 7.091 kasus, pekan ketiga 7.614 kasus, dan pekan keempat naik menjadi 8.119 kasus. Itu berarti terdapat kenaikan hingga 93 persen saat idul fitri dan empat pekan setelahnya.
Tak hanya Idul Fitri, bila berkaca pada kasus-kasus pada libur panjang rata-rata menyumbang kenaikan kasus covid-19. Tercatat pada libur panjang setelahnya, yakni Agustus 2020 lalu. Penambahan jumlah kasus positif covid-19 baik secara harian maupun kumulatif mingguan melonjak 58-118 persen sejak libur panjang 20-23 Agustus 2020.
Ada pula, libur panjang 28 Oktober-1 November 2020 terjadi peningkatan kasus sebesar 17-22 persen. Serupa sebelumnya, lonjakan kasus itu terlihat dalam rentang waktu 10-14 hari kemudian.
Sementara kasus covid-19 Indonesia saat ini mengalami penurunan yang cukup signifikan. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengklaim penurunan itu terjadi salah satunya karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro.
Tercatat, sejak tanggal 23 Februari hingga saat ini, penambahan aksus harian covid-19 tidak lagi menyentuh angka 10 ribu kasus per hari. Angka positivity rate juga melandai meski masih di atas ambang batas 5 persen yang ditetapkan oleh WHO.
Dengan kondisi itu, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menargetkan Indonesia dapat mengendalikan pandemi virus corona pada 17 Agustus 2021 mendatang atau saat peringatan kemerdekaan Indonesia. Target tersebut, menurut Doni akan diiringi kebijakan yang tepat dan kepatuhan masyarakat.
Sementara baru-baru ini, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa memproyeksi Indonesia bisa mencapai herd immunity alias kekebalan komunal sebesar 70 persen pada Maret 2022. Hitungan ini muncul karena Indonesia sudah menggelar vaksinasi virus corona sejak Januari 2021.