Jakarta, CNN Indonesia --
Sengketa lahan antara anak usaha Pertamina dan ahli waris keluarga Mangkusasmito Sanjoto di Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan diwarnai bentrok antara warga--yang diizinkan ahli waris menempati areal tersebut--dan anggota organisasi masyarakat (ormas).
Bentrokan yang terjadi Rabu (17/3) malam mengakibatkan puluhan warga luka. Di luar ricuh tersebut, kedua pihak yang bersengketa masing-masing beradu klaim atas kepemilikan lahan di Pancoran.
SVP Corporate Communication and Investor Relation Pertamina, Agus Suprajitno mengklaim pihaknya merupakan pemilik sah atas lahan di Pancoran. Kata dia, Pertamina memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang diterbitkan Kantor Pertanahan Jakarta Selatan dan Akta Pelepasan Hak Nomor 103 yang diterbitkan Tahun 1973.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, agus juga mengatakan pihaknya selalu rutin membayarkan pajak PBB atas lahan tersebut. "Pertamina sebagai subjek pajak selalu melakukan pembayaran tepat waktu," kata Agus melalui keterangan resmi.
Namun menurut kuasa hukum ahli waris Mangkusasmito Sanjoto, Edi Danggur, SHGB itu telah batal demi hukum berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.1675 K/Sip/1975 pada 21 Januari 1977.
Menurut putusan tersebut, Pertamina telah beritikad buruk dalam penerbitan sertifikat yang terbit tahun 1973. Sebab, Pertamina membeli lahan yang sedang dalam sengketa.
 Kompleks perumahan warga di Gang Buntu II, Kelurahan Pancoran, Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan yang dirobohkan yang menerima kerahiman dari PT. PTC, anak peeusahaan Pertamina, Kamis (18/3). (CNN Indonesia/Syakirun Niam) |
Lahan yang dibeli Pertamina merupakan objek sengketa antara Sanjoto dengan rekan bisnisnya, Anton Partono CS. Lahan yang dibeli dengan uang Sanjoto itu, menurut Edi, secara diam-diam dijual oleh Anton Partono CS ke PT Nagasasra Jayasakti. Perusahaan tersebut kemudian menjual lahan ke Pertamina.
Namun, tindakan Anton terendus Sanjoto. Dia lantas memutuskan mengajukan gugatan ke pengadilan dan, hakim pengadilan kemudian memenangkan Sanjoto.
Sebelum Pertamina membeli lahan tersebut, menurut Edi, kliennya telah membuat pengumuman di media massa agar tidak ada yang membeli lahan Buntu II karena sedang dalam sengketa. Kliennya bahkan bersurat secara resmi ke Pertamina dengan maksud mengingatkan agar tidak membeli lahan tersebut.
"Eh, ternyata dia tetap beli. Maka digugatlah oleh Pak Sanjoto si Anton Partono dan kawan-kawan," terang Edi.
Pihak Sanjoto kemudian memenangkan pertarungan di ranah hukum melawan Anton Partono cs. Perlawanan juga dilakukan Pertamina. Perusahaan negara itu mengajukan bantahan atas putusan sita jaminan dan sita eksekusi yang dikeluarkan pengadilan.
Namun mereka kalah di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
"Jadi Pak Sanjoto sudah menang di perkara Anton Partono, dia juga menang atas bantahan terhadap Sita Jaminan maupun Sita Eksekusi yang diadakan oleh Pertamina," jelas Edi lagi.
Berbekal putusan MA, keluarga Sanjoto mengajukan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka kemudian memiliki lahan tersebut sejak 21 Maret 1981--merujuk pada putusan juru sita PN Jakarta Selatan.
"Berdasarkan itu Pak Sanjoto sudah menempati tanah Buntu II sejak 21 Maret 1981, atau tepat 40 tahun yang lalu," kata Edi.
Namun begitu di sisi lain Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman menyangkal pernyataan yang menyebut sertifikat lahan Pertamina batal demi hukum. Menurut Fajriyah, Pertamina merupakan pemilik sah lahan di Buntu II.
"Nggak ada sertifikat yang batal demi hukum," kata Fajriyah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/3) pagi.
Menurut Fajriyah, hal tersebut diperkuat hasil putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Pertamina merupakan satu-satunya pemilik tanah dan bangunan di Buntu II.
"Sudah dikuatkan secara hukum melalui putusan Peninjauan Kembali oleh MA sebagai pemilik satu-satunya yang sah dari tanah dan bangunan beserta segala sesuatu yang terdapat di atasnya," jelas Fajriyah.
Putusan MA yang memenangkan Pertamina tersebut, lanjut Fajriyah, membatalkan putusan persidangan-persidangan sebelumnya.
"Setelah menang di tingkat MA, kan masih ada upaya hukum lain yaitu Peninjauan Kembali (PK). Ya apabila PK Pertamina yang menang, maka gugur keputusan-keputusan sebelumnya," kata Fajriyah.
Mengenai putusan MA yang memenangkan Pertamina pada 1997, Edi selaku kuasa hukum ahli waris Sanjoto menjelaskan, bahwa hasil PK tersebut tidak membatalkan kemenangan pihak mereka di MA pada 1977.
Sebab, gugatan yang dikabulkan MA adalah putusan Sita Jaminan dan Sita Eksekusi di pengadilan sebelumnya. Sementara, lanjut Edi, putusan MA yang memenangkan keluarga Sanjoto tidak dibatalkan dan menjadi dasar untuk eksekusi atas lahan Gang Buntu II.
"Apalagi ini kan sudah eksekusi, jadi atas tanah yang sama tidak boleh diajukan eksekusi untuk kedua kali," tegas Edi.
Para Penghuni Gang Buntu II
Salah satu hal yang tidak bisa dielakkan dari sengketa lahan tersebut adalah keberadaan warga di Buntu II, Pancoran. Kuasa ahli waris Sanjoto, Edi Danggur mengatakan kliennya mengizinkan warga menempati lahan tersebut.
Warga, menurutnya, sudah menghuni areal itu sejak dekade 1970an.
"Anak-anak merekalah yang sekarang ada di sana. Ya boleh [tinggal di sana]," kata Edi.
Karena sengketa lahan itu pula, para penghuni Gang Buntu II sempat terlibat bentrok dengan anggota ormas. Tidak sedikit dari mereka mengalami luka-luka, baik karena lemparan batu, molotov, maupun pecahan kaca dan paku yang diduga berasal dari penggunaan senjata rakitan dorlop oleh ormas.
Warga Buntu II sendiri memiliki alasan mengapa mereka sampai nekat melakukan perlawanan terhadap Pertamina, meskipun lahan itu bukan milik mereka.
Warso, salah satu warga Buntu II mengungkapkan ia dan warga lain memilih bertahan karena penggusuran dianggap tidak sesuai hukum. Di sisi lain, proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun masih berlangsung.
"Saya menolak kerohiman [ganti rugi] karena ada prosedurnya. Nunggu putusan pengadilan," kata Warso saat ditemui CNNIndonesia.com, Kamis (18/3).
Selain itu, warga juga mengaku mendapatkan amanat dari ahli waris untuk tetap menempati rumah atau kontrakan mereka di Buntu II selama persidangan masih berproses.
"Kita di sini ngontrak juga, bukannya menguasai [lahan Buntu II]. Kita keluar dengan cara baik-baik, kan ada undang-undangnya," tutur Warso.