Jakarta, CNN Indonesia --
Seorang petugas Satpol PP, Sugi, memacu sepeda motornya sambil matanya menyisir jalanan sepanjang Jalan I Gusti Ngurah Rai, Jakarta Timur pada Rabu (24/3) petang.
Ia adalah petugas Satpol PP yang ditugasi memakai setelan busana biasa untuk menjadi penyergap dengan mengendarai sepeda motor dalam Operasi Asih Asuh di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur sore itu.
Pada suatu titik, Sugi menghentikan motornya dan membangunkan manusia robot yang sedang tidur sore di salah satu bangku halte. Dia menjaga manusia robot atau perak yang kerap berkeliling membawa kotak meminta sumbangan ke warga itu hingga rekan-rekan Satpol PP-nya yang naik mobil di belakang tiba.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manusia robot yang tampak masih lesu itu kemudian dibawa masuk ke dalam mobil kerangkeng yang berada di tengah iringan mobil-mobil satpol PP dan motor petugas.
Sore itu, pemerintah Kota Jakarta Timur melakukan operasi besar-besaran. Mereka menyasar manusia silver, ondel-ondel, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya. Operasi Asih-Asuh itu dilakukan serentak di 10 kecamatan Kota Jakarta Timur pada hari itu.
"Total personel yang turun hampir 200," kata Kepala Satpol PP Kota Jakarta Timur Budhy Novia saat ditemui CNNIndonesia.com di kompleks Kantor Wali kota Jakarta Timur, Rabu.
Penggunaan ondel-ondel sebagai sarana untuk mengamen memang tengah menjadi momok di Ibu Kota setelah pemerintah DKI Jakarta memutuskan untuk melarang boneka besar itu di jalanan.
Dan benar saja, hanya beberapa saat setelah menangkap manusia robot, Sugi menangkap tiga remaja yang mengamen menggunakan ondel-ondel.
Saat itu, mereka berada di seberang sungai di tepi Jalan I Gusti Ngurah Rai. Saat diamankan petugas itu, salah seorang remaja yang mengenakan kaos bertuliskan Sanggar Rifki Betawi dengan dua wajah ondel-ondel menggotong boneka besar itu ke mobil aparat.
"Nggak papa [baca: apa-apa] ya," teriaknya pada seseorang di gang.
Setelahnya, tiga remaja itu pasrah masuk ke mobil khusus Satpol PP. Namun, di depan pintu mobil kerangkeng, remaja berkos Sanggar Rifki Betawi itu kembali berteriak pada seseorang di seberang sungai.
"[Tolong] Bilangin emak gue," teriaknya ke lawan bicara yang berada di arah sama sebelumnya.
 Sejumlah petugas gabungan dari TNI dan Satpol PP saat melakukan razia pengamen ondel-ondel di Jakarta Timur, Rabu (24/3/2021). (ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah) |
Setelah itu, Sugi terus memacu motornya dengan cepat sepanjang jalanan Duren Sawit Jakarta Timur, mengejutkan pengamen dan Pak Ogah karena tidak ada yang menyangka ia seorang aparat hingga rekan-rekannya tiba.
Pada satu kesempatan, ia mengejar seorang PMKS seorang diri. PMKS yang tampak masih remaja itu dia dudukkan di bawah setir motor matic sportnya untuk dinaikkan ke mobil Satpol PP yang mengiringi.
Secara keseluruhan, pada Rabu lalu hingga pukul 20.36 WIB, Kepala Satpol PP Kota Jakarta Timur Budhy Novia mengatakan jajarannya telah menciduk 13 ondel-ondel dari jalanan dan sarana umum.
Total, Pemkot Jakarta Timur menciduk 91 orang yang masuk kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Mereka terdiri atas 5 manusia silver, 13 ondel-ondel, 42 pengamen, 15 Pak Ogah, dua Gepeng (gelandangan dan pengemis), 5 manusia gerobak, serta 8 orang dari golongan lain.
Mereka kemudian dibawa ke GOR Ciracas guna dilakukan rapid test deteksi Covid-19 dan pembinaan. Hingga pukul 21.41 WIB, Budhy menyampaikan bahwa pihaknya melakukan tes swab antigen risiko Covid-19 terhadap 81 orang dari PMKS yang terjaring razia.
"Hasil nonreaktif," kata Budhy.
Larangan penggunaan ondel-ondel sebagai sarana untuk mengamen disampaikan salah satunya oleh Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin. Menurutnya, banyak pihak mengaku merasa risih dengan kehadiran pengamen ondel-ondel.
"Jadi kehadirannya dengan menggunakan ondel-ondel untuk mengamen juga sudah banyak yang disampaikan menimbulkan keresahan masyarakat karena sudah mengganggu," kata Arifin saat dihubungi, Rabu (24/3).
Menurutnya, ondel-ondel merupakan ikon budaya Betawi sehingga harus digunakan dengan baik. Menurutnya, penggunaan ondel-ondel sebagai sarana untuk mengamen lebih tampak seperti mengemis.
"Ondel-ondelnya didorong-dorong, dua orang yang lainnya meminta-minta, tidak ada yang dimunculkan dalam bentuk seni yang mungkin bisa dinikmati oleh masyarakat," ujar dia.
Tidak berbeda dengan Arifin, Budhy juga menyebut ondel-ondel sebagai simbol kebudayaan Betawi. Mengenai larangan ini, Budhy mengaku pihaknya telah berkoordinasi dengan lembaga adat Betawi, Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, dan sejumlah organisasi masyarakat (Ormas).
"Termasuk juga budayawan Betawi, (kita) meminta masukannya untuk bagaimana memberikan solusi dan mereka menyetujui bahwa perlu dilakukan penertiban," kata Budhy di lapangan Walikota Jakarta Timur.
Dalam sejarahnya yang mentradisi di Betawi ondel-ondel memang mengamenJJ RIzal |
Menurut Budhy, ondel-ondel seharusnya tidak digunakan untuk melakukan tindakan yang merendahkan martabat Betawi.
"Simbol budaya Betawi tidak boleh dipergunakan untuk hal-hal yang merendahkan martabat budaya itu sendiri," kata Budhy di lapangan Wali Kota Jakarta Timur, Rabu (24/3).
Di sisi lain, kehadiran ondel-ondel di jalanan dan sarana umum lainnya, menurut Budhy, melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007. Karena digunakan untuk meminta-minta, ondel-ondel tersebut kemudian dilarang.
Sebagai solusinya, Budhy mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Selain itu, Pemerintah Kota juga tidak menutup kemungkinan pemerintah kota menyediakan ruang berkreativitas bagi pelaku ondel-ondel di lima tempat wisata Kota Jakarta Timur.
"Mungkin dengan akan dibayarkan nanti kita akan lakukan koordinasi lebih lanjut," katanya.
Namun, wacana kebijakan ini bukan tanpa kritik. Sejarawan JJ Rizal mengatakan tindakan pemerintah melarang ondel-ondel untuk mengamen merupakan bentuk kebijakan tuna budaya.
"Sebab dalam sejarahnya yang mentradisi di Betawi ondel-ondel memang mengamen," kata Rizal kepada CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Rabu (24/3).
Rizal meminta pemerintah memahami ondel-ondel sebagai produk kebudayaan Betawi terlebih dahulu sebelum melarang boneka besar itu di jalanan. Ia juga meminta pemerintah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai ondel-ondel, alih-alih melegitimasi kesalahpahaman publik.
Di sisi lain, kata Rizal, setiap seniman memiliki cara tersendiri dalam melestarikan ondel-ondel sebagai produk budaya Betawi. Terlebih, seniman yang menggunakan ondel-ondel untuk mengamen juga melestarikannya tanpa bantuan dari pemerintah.
"Fenomena maraknya ondel-ondel adalah potret pemerintah Jakarta kehadiran di tempat lain, bukan di tengah budaya tradisi Betawi. Ini problem lama yang tidak tertangani dengan serius," kata Rizal.
Tidak hanya Rizal, seniman Betawi Hasanuddin juga mengkritik larangan ondel-ondel oleh pemerintah. Sebab, kata Hasan, pengamen-pengamen itu turut melestarikan keberadaan ondel-ondel. Di sisi lain, para pengamen tersebut tidak memiliki banyak pilihan karena tidak mendapatkan izin acara di tengah pandemi.
"Kalau asal melarang semua bisa. Pemerintah harus pikirkan kehidupan seniman Betawi. Sekarang kalau posisinya di balik mereka menjadi seniman Betawi bagaimana? Pasti meminta solusi demi kelangsungan hidup," kata Hasan.