Kisah Dokter Anak Melawan Pandemi dari Ujung Timur Indonesia

KPCPEN | CNN Indonesia
Kamis, 22 Apr 2021 10:13 WIB
Dokter spesialis anak Sri Riyanti Windesi menuturkan kisahnya berjuang melawan pandemi Covid-19 dari Kota Sorong, Papua Barat.
Ilustrasi tenaga kesehatan dan anak di masa pandemi. (Foto: ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ketika Covid-19 mulai meluas di Indonesia pada Maret 2020, dokter spesialis anak Sri Riyanti Windesi tengah mengabdi di RSUD Selebesolu, Sorong, Papua Barat. Di antara kurva kasus berfluktuasi, periode bulan Juni sampai September menjadi yang paling parah untuk kasus anak, meski kebanyakan kasusnya ringan.

Keluarga memang begitu mendukung perjuangan Riyanti, namun dengan pengetahuan tentang Covid-19 yang masih sangat terbatas, keluarga tak dapat mengenyahkan kecemasan atas pekerjaan Riyanti. Demi antisipasi, Riyanti menyebut dirinya memilih kamar tidur dan kamar mandi terpisah, juga selalu mendisinfeksi semua peralatan yang ia gunakan.

"Jujur sebagai manusia biasa pada awal merawat pasien Covid-19 saya sangat takut dan cemas. Apalagi setiap hari mendengar berita teman sejawat yang berguguran akibat Covid-19," kata Riyanti, mengingat masa awal mula pandemi di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Riyanti yang pertama kali praktik sebagai dokter umum di Siriwini Nabire, Papua itu mengatakan, lingkungan yang sebagian tak percaya keberadaan Covid dan menganggap dirinya berlebihan menjadi tantangan tersendiri. Ketika tenaga kesehatan mulai mendapat bantuan masker N95, tak sedikit masyarakat yang menilai situasi seolah sengaja dibuat buruk oleh rumah sakit untuk meraup keuntungan.

"Sedih bila ada keluarga pasien yang menghujat nakes, mengatakan kami sengaja meng-Covid-kan semua pasien," ujarnya.

Kendala berikut yang juga kerap dihadapi Riyanti adalah ketidakjujuran keluarga pasien, misalnya dengan menyembunyikan hasil rapid sang anak yang sebenarnya reaktif sehingga nakes ikut terpapar. Terlebih, saat itu jumlah APD masih terbatas.

Berbagai suka duka dialami Riyanti selama setahun lebih pandemi melanda Indonesia. Tak jarang senyum ikut tersungging kala melihat pasien diperbolehkan pulang, menyaksikan kelegaan dan kegembiraan si pasien, juga rasa syukur yang dipanjatkan saat melihat hasil swab nakes terpapar yang menyatakan negatif.

Sebaliknya, duka paling besar yang dirasakan Riyanti adalah ketika mendengar ada pasien meninggal dunia, sekalipun bukan pasiennya. Karena itu, ia sangat menyesalkan menyaksikan masih banyak orang yang abai terhadap protokol kesehatan. Hal itu sempat membuat Riyanti berpikir, seandainya boleh memilih ia ingin tinggal di rumah saja, tidak diliputi kecemasan setiap hari berpotensi menjadi sumber penularan untuk keluarga.

"Dalam benak saya bila memang takdir membuat saya terkena paling tidak keberadaan saya memberi manfaat buat orang lain, soal hidup dan mati biarlah menjadi rahasia Allah SWT," tutur Riyanti.

Protokol Kesehatan Tetap Penting

Sekarang Riyanti sudah lebih tenang menghadapi pandemi. Teman, sahabat, dan keluarga yang mengapresiasi kinerja dan mendukung lewat doa membantu mengembalikan semangat dan diakui menguatkan diri. Terlebih, pemerintah telah menyelenggarakan program vaksinasi nasional.

"Alhamdulillah makin ke sini saya makin tenang, makin bisa berdamai dengan pandemi ini, apalagi setelah makin banyak orang mendapat vaksinasi. Protokol kesehatan akhirnya menjadi prosedur tetap yang mengalir begitu saja, menjadi kebiasaan sehari-hari," kata Riyanti.

Riyanti kemudian meminta masyarakat untuk tetap menjalankan prokes yang sesuai. Ia mengingatkan, sudah banyak korban berjatuhan selama setahun ini, banyak keluarga kehilangan orang tersayang. Saat ini, tak sedikit orang yang sudah divaksin merasa tak lagi perlu menerapkan prokes.

"Sudah divaksin bukan berarti kebal, vaksinasi covid hanya salah satu cara menurunkan tingkat penularan, prokes tetap wajib dijalankan," ujarnya tegas.

Menurut Riyanti, sampai sekarang kasus Covid-19 di Sorong masih fluktuatif. Kebanyakan kasus anak berasal dari klaster keluarga, yang artinya sebuah keluarga terpapar bersama. Hal ini diduga akibat kegiatan di luar rumah, seperti pesta nikah, arisan keluarga, atau belajar mengajar di sekolah.

Selain itu, Riyanti menilai penerapan prokes semakin longgar. Banyak juga orang tua yang menolak perawatan untuk anaknya yang dicurigai terpapar, serta memilih pulang tanpa pemeriksaan lanjutan.

"Kasus kematian mulai meningkat lagi meskipun pada anak hingga saat ini sangat jarang dan semoga tidak ada," katanya.

Riyanti berharap, pandemi dapat segera berakhir dengan sesedikit mungkin korban. Untuk mencapai hal itu, semua lapisan penduduk harus berpartisipasi aktif melalui penerapan prokes dan mau ikut divaksinasi.

"Semoga kita bertemu di waktu yang akan datang tanpa ketakutan, rasa cemas, bisa menghirup udara bebas," tutur Riyanti.

(rea)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER