Jakarta, CNN Indonesia --
Sepasang mata pria hampir paruh baya di hadapan saya memandang lurus ke ruang lowong di depannya. Hamparan lengang itu lebih mirip lapangan sonder rumput ketimbang terminal.
Lobang pada lahan lapang beraspal itu jadi kelihatan karena tak lagi tertutup badan kendaraan. Tak satupun bus terparkir di sana. Apalagi penumpang. Tidak pula orang-orang dengan gembolan kardus-kardus atau tas gendong. Lalu lalang agen perjalanan pun tak ada.
Tapi ini tetap terminal. Terminal Pondok Pinang--dulunya Terminal Lebak Bulus--di Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari itu Kamis, 6 Mei 2021. Hari pertama penerapan larangan mudik lebaran yang ditetapkan pemerintah hingga 17 Mei mendatang. Wabah virus corona yang berjangkit sejak tahun lalu dan hingga kini belum terkendali, membuat aturan itu mesti berlaku.
Kata pemerintah, melalui televisi, virus yang sudah menginfeksi lebih 1,7 juta orang itu bisa cepat menular dari satu orang ke orang lain. Itu sebab pergerakan perlu dibatasi, agar virus tak cepat menyebar. Salah satunya dengan melarang mudik lebaran tahun ini.
Dari salah satu warung, pria yang mengamat-amati lengang terminal tadi mengaku memahami kondisi tersebut. Ia berusaha patuh aturan pemerintah. Tapi sekaligus juga tak bisa berkilah, kenyataannya, lebih setahun belakangan dagangannya sepi.
Pelarangan mudik dan penonaktifan terminal dua minggu ini sudah tentu membuat kantongnya kian remuk.
"Penghasilan sudah bukan berkurang lagi. Tapi minus. Penghasilan yang kemarin didapat, mau nombokin, buat sekarang juga sudah minus," laki-laki itu bercerita setengah mengeluh saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
 Hidayat, penjual mi ayam dan pemilik warung di Terminal Pondok Pinang. (CNN Indonesia/Feybien Ramayanti) |
Namanya Hidayat. Ia sudah belasan tahun berjualan mi ayam di terminal ini, jauh sebelum berganti nama jadi Terminal Pondok Pinang.
Bila hari-hari normal, ia bisa mengantongi sekitar Rp2 juta dalam sehari. Sebab meski lokasi warungnya di pojok terminal, mi ayam Hidayat tergolong makanan yang diminati.
Namun itu dulu, masa-masa itu kini hanya bisa dijadikan cerita dan tinggal kenangan.
Seperti sekarang misalnya, jarum jam sudah mendekati angka 12. Biasanya, pada waktu-waktu ini dia disibukkan meracik mi ayam untuk mengisi perut sopir bus Antar-Kota Antar-Provinsi (AKAP) dan para calon penumpang.
Tetapi siang itu, Hidayat hanya bisa duduk terpaku. Sesekali dia menyandarkan tubuh di depan gerobak mi. Warungnya kosong. Mangkuk-mangkuk bergambar ayam jago itu menganggur, ditumpuk di balik gerobak.
Sejak wabah meruyak, kondisi keuangannya kian sulit. Apalagi enam bulan sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan pada Maret 2020 lalu, Hidayat sama sekali tak berjualan. Ia, kala itu sempat jadi pengangguran.
Saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dilonggarkan, perekonomiannya memang berangsur berjalan. Meski tak langsung normal, seringkali tersendat. Kalau sedang banyak pelanggan, paling banter dia bisa mengumpulkan Rp700 ribu sehari.
Itu pun, kata dia, kelewat ngepas jika mengingat perlu putar uang untuk jualan, belum lagi kebutuhan harian keluarga, makan sehari-hari, menyisihkan uang untuk sekolah anak, kiriman ke orang tua hingga, tagihan kontrakan.
Lanjut baca ke halaman berikutnya ...
Karena itu saat larangan mudik diberlakukan, Hidayat jadi enggan membayangkan bagaimana jualannya hari-hari ke depan. Bagaimana ia mencukupi istri dan tiga anaknya. Bagaimana ia membayar sepetak kontrakan kecil yang ia tinggali di dalam terminal.
Dua pekan terminal tak beroperasi, artinya, sepanjang itu pula ia tak dapat pemasukan. Siapa yang hendak membeli mi ayam di tengah terminal yang kosong melompong?
Cuma ya, apa boleh bikin, hidup harus tetap diberangkatkan.
"Keberlanjutan hidup kan wajib. Saya pikir ke depan, kalau tidak memungkinkan [jualan] di sini, lalu apa? Anak-anak satu mau kuliah, satu mau masuk SMP, satu masuk SD," tutur Hidayat lagi.
Hidayat paham, mencari lapak jualan di tengah kondisi sekarang ini sama seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Nyaris mustahil.
Sementara beralih profesi pun bukan perkara mudah. Boro-boro bisa menyisihkan uang buat modal berganti usaha, duit yang ada sudah ludes untuk menutup kebutuhan harian ketika setengah tahun pertama pandemi--saat ia terpaksa menganggur.
Sedangkan mudik ke kampungnya di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah pun tak mungkin. Dia kadang-kadang kesal, Covid-19 bukan saja memporakporandakan keuangan melainkan juga menghalanginya melepas rindu ke orang tua.
"Selagi [orang tua] masih hidup. Masa iya karena ada corona doang, orang tua masih hidup, kita di sini. Nggak tahu tahun depan apa orang tua masih hidup?," ucapnya yang genap dua tahun ini tak pulang kampung.
Namun setelah meluapkan kegeraman itu, Hidayat sekaligus juga sadar bahwa ia pun sesungguhnya tak bisa apa-apa selain berlapang dada.
Hidayat tak punya banyak pilihan. Karena itu sekalipun susah payah, ia berusaha tetap menekuni warung mi ayamnya dan melakoni hidup, seraya meminta anak-anaknya ikut mendoakan hal-hal baik.
"Mudah-mudahan tante corona ini cepat pergi ya. Agar kita kembali lagi seperti dulu. Bapak bisa cari duit. Anak-anak bisa sekolah," tutur Hidayat menirukan ucapan yang ia sampaikan ke tiga anaknya setiap kali hendak berdoa memohon pencerahan dari yang maha kuasa.
Seperti halnya Hidayat, penghuni lain di Terminal Pondok Pinang, Naeik juga bakal menganggur setidaknya dua pekan ini. Aktivitas bus AKAP berhenti total. Itu artinya tugasnya sebagai koordinator lapangan bus AKAP pun tak ada gunanya.
Pria asal Sumatera Utara ini bekerja di terminal sejak belasan tahun silam. Sehari-hari ia mengatur keberangkatan dan kedatangan bus, hingga mengurus penjualan tiket ke penumpang.
Semenjak pandemi, hitungan kasar Naeik, penumpang bus AKAP berkurang sekitar 70 persen dari situasi normal. Penurunan itu pun berdampak pada pemotongan upahnya per bulan.
Nah, jika sekarang ini tak ada bus yang beroperasi, apa lagi yang perlu diatur Naeik? Sudah tentu tidak ada. Meski begitu Naeik pasrah, ia akan tetap duduk berjaga di balik pos keamanan. Meski di terminal tak ada lagi bus AKAP, meski di terminal lengang penumpang.
Apa mau dikata, beralih kerja pun sudah tak mungkin. Naeik juga tak tahu, kalaupun perlu berganti profesi, harus menjadi apa.
 Naeik, koordinator lapangan bus AKAP di Terminal Pondok Pinang. (CNN Indonesia/Feybien Ramayanti) |
"Mengambil pekerjaan sampingan atau pekerjaan lain di luar terminal itu bisa, bahkan mudah. Tapi dunia hitam. Ya [melakukan tindak] kriminal, narkoba," kata Naeik getir.
"Kalau saya ikuti arah itu, saya harus mengorbankan keluarga. Jadi saya memilih bertahan dengan apa adanya," tutur dia lagi.
Naeik sadar, sebagian menganggap, orang-orang yang bekerja di terminal seperti dirinya adalah orang kasar atau dekat dengan hal-hal berbau kriminal. Ia tak peduli. Naeik sudah kadung jatuh suka dengan terminal.
Bapak tiga anak itu merasa, hidupnya di terminal bisa membantu banyak orang, kesenangan ia temukan saat berinteraksi dengan penumpang, atau ketika sempat jadi 'pembuka jalan' bagi kawannya yang saat itu butuh pekerjaan.
Lagipula, sejak belia yang Naeik tahu hanya seluk-beluk dunia pangkalan bus. Karena itu juga ia menganggap Terminal Pondok Pinang sebagai satu-satunya ladang mencari nafkah.
Kepuasan-kepuasan tersebut yang, menurut Naeik membantunya untuk bertahan. Meski kini ia mengerti, duit dari terminal pun tak lagi mampu menopang kebutuhan keluarga.
Ketika hidup terasa sulit dan perasaan ingin menyalahkan pandemi mulai muncul, yang terbayang di benaknya justru hanya perkataan Presiden Joko Widodo yang sempat ia saksikan di layar televisi. Ucapan Jokowi itu menancap di ingatan dan, ia percaya sebagai pegangan.
"Pemimpin kita, Pak Jokowi, menginformasikan ke masyarakat bahwa kita harus hidup berdampingan dengan covid. Itu pedoman saya. Karena covid itu saya nggak tahu bentuknya apa, warnanya apa. Maka saya berpedoman pada yang disampaikan Pak Presiden," ucap Naeik yang begitu percaya perkataan Jokowi.
Tak ada deru mesin bus siang itu. Terminal kosong, mungkin juga kantong para penghuninya. Tulisan pengumuman 'agen bus tutup sementara' terpampang di pintu masuk pangkalan.
Naeik masih duduk di kursi kayunya, di balik pos keamanan Terminal Pondok Pinang yang lengang. Hidayat setia menunggu pelanggan yang entah kapan tiba mengampiri warung mi-nya. Keduanya tak punya banyak pilihan, mereka tetap bertahan di terminal.