Penggusuran bukan hanya merenggut rasa nyaman melainkan juga memporak-porandakan perekonomian Budi. Sebelumnya ia membuka bengkel dengan 18 pekerja. Tapi sejak digusur, seluruh pegawainya pulang kampung. Para pelanggan pun menghilang satu demi satu.
Tempat usahanya itu tak lagi mirip bengkel, bekas reruntuhan rumah masih menumpuk di sana.
Usaha kecil-kecilan istri Budi pun turut sepi. keluarga ini akhirnya mengandalkan pendapatan dari berjualan es batu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehari paling Rp15 ribu-Rp60 ribu," ucap dia.
Lihat juga:Kantong Cekak Porter Stasiun Jelang Lebaran |
Seperti halnya keluarga Budi, Sunah--seorang warga lain--menyimpan ketakutan tersendiri sejak awal 2021 itu.
Sehari-hari ia berjualan Soto Lamongan di dekat rumah Budi. Mangkuk-mangkuk soto itu jadi satu-satunya sumber rezeki. Tapi kini Sunah dilanda bingung lantaran tenda tempat dia berjualan juga luluh lantak oleh ekskavator.
Sunah bercerita, saat itu ia bukannya tak melawan, tapi orang-orang yang datang untuk menggusur kelewat banyak. Ia dan warga Gang Buntu II kewalahan.
Belum lagi rentetan gas air mata, molotov, juga raungan ekskavator. Tenda-tenda dan rumah tetangganya satu per satu rata tanah.
"Tiap hari kayak sport jantung," ungkap Sunah.
Memasuki Ramadan, ketegangan memang menurun. Tapi Sunah tak bisa menyingkirkan ingatan buruk itu dari benaknya. Kejadian-kejadian sebelumnya masih menyisakan trauma, ia acap ketakutan juga was-was.
![]() |
Lantai dua rumahnya rontok, hancur oleh ekskavator. Runtuhan tembok, kaca dan genteng, bersatu di atap lantai dasar bangunan rumah.
Meski begitu Sunah dan keluarganya memilih bertahan. Dia tak punya pilihan.
"Kalau mau gusur harus ada kebijaksanaan, kita kan bukan binatang. Jangan asal gusur tapi enggak ada ganti. Lagi kayak gini nyari tempat tinggal kan harus ada duitnya dulu belum tentu dapat. Mau ke mana coba?" ucap Sunah.
Orang-orang di Gang Buntu II Pancoran tahu, malam-malam Ramadan, juga Lebaran tahun ini akan jauh berbeda. Usaha mereka morat-marit, rumah yang mereka tinggali pun tak tahu sampai kapan masih tegak.
Penghuni di kawasan itu pun tak seramai dulu. Beberapa sudah pindah mencari tempat tinggal baru.
Jika sebelum-sebelumnya, saban Ramadan dan Lebaran Gang Buntu II selalu ramai penjaja makanan dan riuh bocah. Tahun ini tak demikian. Tenda-tenda penjual makanan kosong melompong. Anak-anak dan orang tua berdiam di rumah, mereka dibebat bayang-bayang ketakutan; cemas jangan-jangan tiba-tiba ekskavator datang dan merobohkan rumah mereka.
Menurut Budi, sejak alat berat sering datang tiba-tiba ke wilayah mereka, ia dan keluarganya ketar-ketir setiap hendak meninggalkan rumah. Budi takut, saat pulang, rumah yang 20 tahun ia tinggali itu sudah rata tanah.
Itu sebab meski lebaran, tahun ini ia berjanji tak akan meninggalkan rumah.
"Kita mau cari hiburan ke saudara juga enggak berani ninggalin rumah kita," ungkap Budi.