Jakarta, CNN Indonesia --
Human Rights Watch (HRW) meminta kepolisian Indonesia mencabut tuduhan makar bermotif politik terhadap juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo.
Victor ditangkap karena menyerukan referendum kemerdekaan Papua yang ia ungkapkan pada 2019 dalam protes anti-rasisme dan kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Human Rights Watch menyatakan pemerintah Indonesia telah melakukan diskriminasi penduduk asli Melanesia di Papua dan Papua Barat secara berturut-turut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden Joko Widodo pun diminta secara terbuka mengarahkan pasukan keamanan yang terlibat dalam operasi di Papua agar bertindak sesuai dengan hukum internasional dan bertanggung jawab atas tindak kekerasan di sana.
"Polisi Indonesia harus menyelidiki kekerasan mematikan dan serangan pembakaran di Papua pada 2019 tetapi tidak menggunakannya sebagai alasan untuk menindak aktivis damai," kata Direktur HRW Asia, Brad Adams, dikutip dari situs resmi HRW pada Rabu (12/5).
Pada Agustus 2019, sebagian masyarakat Papua menggelar protes di setidaknya 30 kota di Indonesia sebagai tanggapan serangan rasis terhadap mahasiswa Papua di asrama pelajar di Surabaya, Jawa Timur.
Sejumlah video menunjukkan aparat meneriakkan mahasiswa dengan sebutan "monyet". Aparat kepolisian pun menembakkan gas air mata ke arah asrama dan menangkap puluhan mahasiswa.
Polemik tersebut memicu kerusuhan berupa penyerangan, penjarahan hingga pembakaran fasilitas umum di wilayah Papua, mulai dari Jayapura, Manokwari, Sorong dan Wamena.
Buntut dari rentetan polemik tersebut, HRW mencatat setidaknya 43 pemimpin protes Papua dan aktivis KNPB didakwa atas tudingan makar dan dijatuhi hukuman meski tidak terlibat dalam aksi kekerasan.
HRW menyatakan tidak memihak atas klaim Papua terkait penentuan nasib kemerdekaan mereka, namun mendukung hak setiap orang dalam mengekspresikan pandangan politik mereka secara damai tanpa takut ditangkap.
"Pihak berwenang Indonesia harus memastikan bahwa semua operasi pasukan keamanan di Papua dilakukan sesuai dengan hukum dan bahwa aktivis damai dan warga sipil lainnya tidak menjadi sasaran," tambah Adams.
Secara terpisah, pihak kuasa hukum yang tergabung dalam Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menuding penangkapan terhadap Victor pada Sabtu (9/5) tidak sesuai dengan prosedur penangkapan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasalnya, penangkapan dilakukan tanggal 9 Mei 2021, sementara Surat Penangkapan dan Penahanan baru diterima Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua pada 10 Mei 2021 pukul 18.00 WIT di Ruang Penyidik Mako Brimob, Kotaraja, Abepura, Jayapura.
"Koalisi tidak mendampingi Victor F Yeimo langsung disampingnya padahal bukan hanya Pasal 106 KUHP atau Pasal Makar saja yang dituduhkan kepadanya namun ada Pasal 170 ayat (1) KUHP yang dituduhkan dimana dalam prosesnya kuasa hukum dapat duduk di samping kliennya," ungkap Koordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua Emanuel Gobay melalui keterangan tertulis.
Emanuel pun menyatakan mendapat hambatan dalam proses pendampingan terhadap Victor karena tidak dapat mendampingi kliennya secara langsung. Victor kemudian dipindahkan dari Polda Papua ke Mako Brimob Polda Papua tanpa sepengetahuan koalisi.
Sementara di Rutan Mako Brimob, Victor disebut ditempatkan dalam ruangan yang jauh dari ruang masuk udara. Ia dikatakan sudah meminta kepada petugas agar dipindahkan ke ruang tahanan yang lebih nyaman.
Lebih lanjut, Emanuel mengungkap kliennya juga sempat mempertanyakan kenapa hanya dia yang ditangkap jika dalih penangkapan adalah karena melakukan orasi pada aksi anti rasisme pada 19 Agustus 2019.
"Banyak pihak yang orasi juga [dalam aksi tersebut] seperti tokoh perempuan, tokoh agama, tokoh pemuda dan lain sebagainya. Selain itu dihadiri juga oleh gubernur Provinsi Papua, ketua MRP, anggota DPRP, beberapa SKPD dan juga OAP dan Non OAP. Namun mengapa hanya saya yang ditangkap dan diproses sementara yang lainnya tidak?," tutur Victor seperti disampaikan Emanuel.
Victor diringkus di Jayapura, Papua, Minggu (9/5), sekitar pukul 19.15 WIT. Victor sendiri merupakan buron atau termasuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2019.
Ia sangkakan telah melakukan kejahatan terhadap keamanan negara/makar dan atau menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat dan atau menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap.
Ia juga disangkakan melakukan penghinaan terhadap bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan dan atau penghasutan untuk melakukan suatu kejahatan.